Postingan

Menampilkan postingan dari 2007

Sang Waktu

Rumah pasir tepian pantai, kubangun pelan dengan tetesan peluh hingga debur ombak datang menerjangnya, luluh kembali menjadi hamparan pasir datar. Tersenyum engkau disampingku, datang menghampiri dan kau hapus peluhku pelan. Apakah engkau tak letih, Embun? Ucapmu sesaat padaku. Ah, bahkan aku sendiri terlalu angkuh untuk berkata iya, dan menyandarkan bahu letihku padamu. Aku telah belajar menggali sumur terdalam dihatiku, memasukkan segala peluh dan keluhku kedalamnya. Aku hanya sepenggal noktah kecil bernama kehidupan yang digenggamkan Tuhan kepadaku. Dan aku terus menapakkan langkah kaki selama tak ada tangan yang menggenggamku. Mengapa ada kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan? Siapa sejatinya yang paling setia menemani sang waktu? Apakah waktu itu benar-benar ada dan nyata? Ataukah sang waktu hanya sebuah simbol hasil konsensus masa Romawi Kuno? Untuk apa waktu dibuat jika hanya untuk meninggalkan. Untuk apa waktu dibuat jika hanya untuk memisahkan. Jangan lupa, Embun! Jangan

IRONI UNCCC 2007

Perjalanan melintas jarak, ruang dan waktu Bersandar aku disini Menapakkan pijak rapuhnya, sesaat aku bertanya, negeri ini milik siapa? Gelak tawa anak-anak itu menenggelamkanku Bergandengan tangan bersama bercerita Tentang bumi yang tak lagi ramah Sementara di ujung sana Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya berbicara Hanya sebatas meja! Sebenarnya negeri ini milik siapa? Ketika kuayunkan langkahku kesana Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya malah sibuk berbelanja Atau memanjakan diri di spa Sebenarnya negeri ini milik siapa? Saat rakyatnya tak lagi bebas berkelana Saat yang tak berpunya tersingkir dari kasat mata Saat anak-anak tak bisa belajar dengan merdeka

Tiga Dermaga

Tiga dermaga tepian kanal Deretan kapal berlabuh pelan Hari belum lagi senja, mengapa riuh sudah terdengar? Syahbandar teriakkan aba, nahkoda belum turunkan layar Sauh belum terlempar Angin masih membawaku terbang Melintasi waktu, menjaring mimpi Aku belum letih Kerjap merah mengembara Dermaga menghampiri, datang dan pergi Namun kapal tak jua menepi Layar tetap terkembang, sauh tak terlempar Mimpi masih disana, jauh… Kuikuti ombak berayun Terombang-ambing Gelap terang Membuatku semakin kuat Written by SintesaFiles-2007

Saat Sahabat Pergi

Satu persatu sahabat pergi, mungkin karena memang telah tiba masanya, seperti halnya hari ini. Apakah memang mereka pergi? Kepergian hanya perubahan dimensi ruang, karena menurutku, senyatanya mereka tetap ada, hadir dan menempati penggalan ruang hidupku. Seperti hari ini, tidak bisa kubohongi hati kecilku, sedih tapi juga bahagia. Sedih karena secara dimensi ruang kita akan merenggang jarak. Bahagia karena dia akan menapaki episode kehidupan selanjutnya, merajut mimpi yang telah sekian lama dalam pelukan Tuhan. Kebersamaan dengannya memberikan warna baru bagiku, tentang perjuangan meraih mimpi. Biarkan mimpi tak selamanya menjadi mimpi. Belajar tentang bagaimana nrimo…..Belajar tentang berdamai dengan hati, berdamai dengan diri sendiri. Tapi kepergianmu dari dimensi ruangku saat ini menyeruakkan sepi. Hari ini engkau pergi, sepi menghampiri pelukaan, karena tanpamu, tak ada lagi teriakan-teriakan ditengah malam saat-saat kita menjadi seteru karena jagoan kita bertanding. Milan! Forza

RUANG

Manusia bisa bergerak jika terdapat jarak. Manusia dapat saling menyayangi bila terdapat ruang. Manusia memerlukan ruang untuk menghela nafas mengaliri denyut kehidupan dengan asupan oksigen. Manusia hidup memerlukan ruang sebagai media tumbuh dan berkembang menggapai aktualisasi diri. Kasih sayang mampu membawa dua orang berdekatan, namun jangan biarkan kasih sayang itu mencekikmu jadi ulurkanlah talinya. Ibarat kata yang terangkai begitu indahnya akan memiliki makna jika terdapat jeda yang bernama spasi. Jantung akan terengah-engah jika dipakai memompa kehidupan bagi dua nyawa. Sepasang paru-paru tak akan sempurna jika digunakan memompa oksigen bagi dua nyawa. Karena jiwa tak dapat tumbuh dengan semestinya jika harus terbagi, maka tak akan ada jiwa yang terbelah. Indah akan tercipta jika jiwa bersua dengan jiwa lain yang searah. Karena itu jangan lumpuhkan aku dengan bendera kasih sayang. Berjalan rapat tapi jangan dibebat. Jangan dibendung jika tak mau tersandung. Pegang tanganku ta

Manusia, Energi dan Teknologi: Soulmate

Sekarang ini kita semakin dimabukkan dengan ketergantungan terhadap energi dan teknologi. Tiga minggu ini hidup tanpa ada laptop kesayangan yang selalu mengisi hari-hari, ibaratnya separuh nyawaku melayang, terbang ke ujung negeri tak bertuan. Curahan ide tulisan-tulisan liar hingga tuntutan tesis yang belum kunjung usai kutuntaskan terpaksa harus diendapkan karena masalah teknis itu. Harus gimana lagi, ketika laptop itu tanpa seijinku harus terbang ke Surabaya, karena disanalah vendor yang menangani sesuai selembar kertas yang mengaku bernama garansi. Tak tahu harus bagaimana ketika setiap kali kuhubungi selalu terdengar jawaban yang sama, "Ditunggu mbak, nanti dikabari......" Sampai kapan? Hingga tahun ini beranjak pergi? Memang kesabaran lagi diuji tapi akan lebih nyaman jika ada kepastian tanggal yangn bisa kupegang. menyebalkan, haruskan aku menulis di lembaran daun lontar yang kemudian bisa kulipat-lipat kecil menjadi flash disk yang dijamin antivirus dan tanpa perlu li

Perang Tarif Antar Operator Seluler: Perjalanan Menuju Kematian?

Oleh: Anik S Handayani Telekomunikasi telah menjadi candu bagi masyarakat luas. Perkembangan globalisasi dunia mampu menipiskan bahkan meniadakan jarak geografis melalui media komunikasi virtual. Setiap manusia memerlukan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tak mengherankan jika bisnis telekomunikasi berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Kondisi geografis Indonesia mendukung industri seluler berkembang pesat dalam menjawab kebutuhan masyarakat akan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi mampu menggeser media komunikasi dari kebutuhan sekunder atau tersier menjadi kebutuhan primer. Lihat saja, jika dulu telepon seluler (ponsel) menjadi barang mewah konsumsi kelas menengah keatas, sekarang hampir seluruh elemen kelas masyarakat telah memiliki ponsel sebagai bagian dari kebutuhan dan gaya hidup. Tak peduli seorang pejabat negara, pengusaha, mahasiswa, pelajar hingga tukang sayur keliling hampir dapat dipastikan merupakan pengguna ponsel. Meski sama-sama m

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Ramadhan masih berada ditengah perjalanan, sepuluh hari pertama telah terlampaui, begitu cepat waktu berlalu meninggalkanku. Kenapa waktu berlalu? Apakah waktu itu ada ataukah sekedar hitung-hitungan matematis hasil indoktrinasi yang kita terima sejak masih kecil? Ah, aku sedang tak mau berpikir tentang hal itu. Yang jelas pagi tadi, aku melihat lelaki itu berjalan menyusuri jalan utama kota ini. Mengenakan kaos kuning yang telah lusuh dan celana panjang hitam yang tak rapi. Aku menebak lelaki itu berusia empat puluhan tahun, entah benar atau tidak atau mungkin lebih muda dari itu. Lagi….lagi… berbicara tentang umur berarti berbicara tentang dimensi waktu, siapa yang membuat satuan waktu detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun? Semua itu rekayasa! Kembali tentang lelaki itu, berjalan sedikit cepat melintas dihadapanku. Dibahunya terdapat pikulan penyeimbang dengan beban di kiri-kanan, berjalan melintas ditengah deru kendaraan lalu lalang yang semakin padat dan menyesakkan. Dua

Kisah Perempuan Tak Bernama

Seorang anak manusia tak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi pengajuan proposal mengenai ras, garis muka, warna kulit ataupun jenis rambut, semuanya telah diberikan begitu agung oleh Yang Maha Kuasa. Setelah anak itu lahir, kemudian yang beruntung akan tumbuh dan berkembang dalam balutan kasih sayang ataupun yang termarjinalkan karena ketidakberdayaan orang tua dan orang-orang sekitarnya. Sebagian meyakini itu sebagai garis nasib yang harus dijalani sang anak dalam berproses. Hasil akhir proses itu? Wallahuallam! Bertahun-tahun yang lalu, seorang anak manusia lahir, disebuah desa dibelahan pantura, Pantai Utara Jawa. Diantara tanah kering yang memerah dan tandus. Diantara desau anyir angin laut. Diantara gesekan daun-daun karet yang berjajar rapi di Kerkhoff. Diantara jejeran nisan kumpeni yang meninggalkan jejak kemegahan masa lalu. Tonggak kehidupan hedonisme telah terpancang kuat. Terlahir dalam jerat kemiskinan, tak pernah sekalipun diharapkannya. "Namun, hidup mesti teru

Ketika Kasih Sayang Dipertanyakan

PULANG Namanya Clara, usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, sepertiga hidupnya telah dihabiskan di kota Madrid ini. Clara mewarisi bakat menari dari darah neneknya, Raden Ayu Sukmowati, penari handal dari Kraton Surakartahadiningrat. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahiran demi rasa cintanya pada budaya yang hampir punah dinegeri sendiri. Sekarang ini Clara merasa sudah saatnya pulang. Tuhan menentukan langkahnya dengan caraNya sendiri. Pelan ditekannya nomor yang sudah dihafalnya diluar kepala. Meskipun rasanya sudah lama sekali dia tidak menekan nomor ini, sekarang rasanya lain, ada euforia yang bercampur duka. Kerinduannya pada tanah air, bapak-ibu dan seorang adik yang telah lama ditinggalkannya. “Halo”, sebuah suara terdengar jauh, bergetar pelan dalam hati Clara. “Halo, Bapak. Ini Clara, saya mau pulang ke Indonesia, Pak” ungkap Clara pada Bapak. “Wah, benar, Nak? Senangnya mendengar keputusanmu itu, kapan rencanamu Ndhuk?” tanya Bapak. “Dua ming

MENCARI KEBAHAGIAAN

Apakah Engkau Sudah Bahagia? Selamat pagi, Embun? Apa kabarmu saat ini? Senang atau sedih, penuh harapan atau emptiness ? Apakah engkau masih mencari bahagia, Sayang? Bahagia tak mestinya harus dicari, karena bahagia itu ada dalam hati, bagaimana kita menyikapi setiap mozaik hidup kita ini menjadi elemen-elemen kebahagiaan yang dapat membangun energi positif bagi diri kita. Sulit ya? Ah, ataukah engkau sudah terjangkiti affluenza ? Masak kau bilang nggak mengerti apa itu affluenza ? Banyak-banyak membaca ya, Embun! Waduh jangan marah dong, aku khan cuma sekedar mengingatkan mumpung engkau masih muda dan sebelum kita menginjakkan kaki di Kye Gompa (wah tak pernah disangka jika kita memiliki mimpi yang sama dengan penulis buku tetralogi favorit kita itu!). Oya kembali lagi ke affluenza ya, itu berasal dari gabungan kata affluence dan influenza , merupakan virus yang menyerang jiwa untuk terus lebih mencapai kesuksesan dan kekayaan, kadang juga diterjemahkan sebagai keinginan selalu m

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Pagi ini aku termenung.....didepanku terdapat laptop dan ponsel yang selalu setia menemaniku. Sesaat teringat beberapa pesan singkat yang baru saja kuterima dan kukirimkan pada seorang teman. Jika aku memiliki sebuah kayu dan beberapa paku, kayu itu terlihat bersih tak ada goresan dikulitnya. Kemudian aku ambil paku dan kutancapkan pada kayu itu. Paku yang tertancap pada kayu dapat kucabut menggunakan tang, berhasil! Kemudian paku-paku itu kutancapkan lagi di beberapa bagian lain dari kayu itu, beberapa tempat sengaja kupilih, beberapa tempat lainnya asal aja. Kemudian dengan menggunakan tang kembali kucabuti paku-paku itu, ada yang susah namun ada juga yang dengan mudah kucabut. Setelah selesai semua kuperhatikan kembali kayu itu, sudah bersih tanpa ada lagi paku yang tertancap padanya, namun saat kuperhatikan lebih seksama lagi, banyak sekali luka-luka bekas paku yang tadi kutancapkan dengan sengaja ataupun asal tadi. Luka-luka itu tersebar di sekujur badan kayu, menganga, mungkin ak

Terimakasih Ramadhan

Detik begitu cepat berlalu, tanpa kusadari langkahku telah dihadapkan pada Ramadhan yang baru. Terimakasih Tuhan, Engkau anugerahkan waktu kepadaku untuk menyelami cintaMu yang telah sekian lama kuabaikan. Kerinduanku kepadaMu yang selama ini terasa semakin kosong terbelenggu rutinitas yang kudewakan. Dalam pijak rapuhku, dalam kesendirianku, dalam diamku, dalam tangisku, dalam kesombonganku, dalam senyumku, dalam langkah yang menjauh dariMu. Semakin kuyakini arti hadirMu. Terimalah diriku dalam pelukanMu, ampuni salah dan khilafku. Berikan cahaya cinta dan damai-Mu kepadaku. Diriku hanya titian kecil yang belajar tentang hidup. Memaknai mozaik-mozaik berserakan dalam kehidupan yang Engkau anugerahkan kepadaku. Terangilah cahaya kehidupanku. Saat tak ada kesetiaan yang tersisa selain kuberpaling padaMu. Hanya kepadaMu aku berserah diri dan hanya kepadaMu aku kembali.

Secangkir Kopi dari Porong

Sesak menyeruak dalam batinku. Kau benamkan diriku dalam tanah gelap. Jengah menunggumu dalam penantian. Tak terhitung berapa detik telah kuhabiskan. Namun engkau tak juga datang. Yang kau berikan hanya ketidakpastian demi ketidakpastian. Kopi ini terasa semakin pahit. Apa kau pikir, aku, istriku dan anak-anakku bisa berlindung dalam janji-janjimu? Perut kami tak mengenali kata-kata sebagai pemuas nafsunya. Tubuh kami tidak mengenali ketidakpastian sebagai penjaganya. Kami menggigil diterpa angin yang tak peduli dengan penantian. Punggung kami sudah terasa semakin tebal berteman dinginnya lantai pasar Porong. Pagi hari saat mataku terjaga, semburat panas menerpaku. Dari balik tirai yang terkoyak. Terkenang akan masa lalu, aku ingin menyapu halaman rumahku, aku ingin menyiram tanaman dikebunku, aku ingin mengantar sekolah anakku, dan aku juga ingin bercengkerama dengan tetanggaku. Namun saat aku beranjak, semuanya telah lenyap. Tenggelam dalam lumpur pekat. Aku harus kemana? Mer

Tak Harus Menyerah

Maaf terendap senyap. Dendam berkarat meracun jiwa hampa menyapa. Kering daun diterpa angin saat rasa ingin menyerah. Jiwa menghentak. Tembok itu telah bertumbuh lumut, menutup semua niat untuk menyentuh. Peluh tak mampu peluk. Tembok itu menanti roboh. Lumut menggenggam angkara. Pelan menuju kematian. Nyanyian kembang setaman, tangis kawanan lebah mendengung pelan. Sesaat menghilang... Akhir sebuah cerita tak harus dengan tawa atau airmata, sejatinya semua tak pernah usai. Hanya lakon berganti. Tinggal Sang Dalang berkehendak memainkan peran. SintesaFiles, 20 Agustus 2007

Sebuah Refleksi Kemerdekaan

Apakah kita sudah merdeka? Hari ini, enam puluh dua tahun sudah usia Republik ini, usia yang sudah cukup tua jika perbandingannya adalah umur manusia. Namun, apakah kita sudah merdeka? Secara yuridis, negara kita memang sudah merdeka, tetapi kemerdekaan ternyata belum digenggam oleh semua anak bangsa pelosok nusantara ini. Lihatlah anak-anak Papua yang berdiri bertelanjang dada dengan perut membuncit, ribuan pengungsi bergeleparan di pasar Porong yang terancam harus segera meninggalkan lokasi penampungan entah kemana setelah kampung halamannya ditelan semburan lumpur yang tak mengenal iba, kampung-kampung kumuh bantaran kali atau di belakang apartemen mewah ibukota menjadi potret nyata dibalik gemerlap hedonisme kota. Ribuan perempuan tangguh negeri ini memilih mencari segenggam mimpi di negeri tetangga, tak jarang mereka pulang tinggal nama, penuh luka, berbadan dua, depresi atau schizophrenia . Generasi penerus bangsa semakin termarjinalkan ketika sekolah menuntut biaya setinggi

Refleksi Tragedi IPDN (Lagi........!!!)

Jejak Kekerasan Calon Pemimpin Masa Depan Mengapa berita yang tersiar dari kampus megah di bumi Jatinangor selalu membuat miris? Berita duka menghampiri kita bertubi-tubi, kematian praja yang sudah menjadi kesekian kali, praja yang dirawat di rumah sakit karena "ketidaksengajaan" pengasuh dalam memberi hukuman, kasus narkoba, terakhir perkelahian massal yang membawa kematian Wendy Budiman, seorang warga Jatinangor. Kata apa yang pas untuk semua itu? Miris, ironis, menyedihkan! Anggaran ratusan milyar yang diguyurkan dari kantong kering rakyat dengan harapan menjulang telah terberangus oleh sistem pendidikan yang menyedihkan. Bagaimana tidak? Lihat saja para calon siswa terpilih namun sistem pendidikan telah mengubah mereka menjadi manusia yang seringkali lebih memilih otot dalam penyelesaian permasalahan. Apakah nantinya rakyat juga dilayani dengan otot bukan otak. Bagaimana nantinya para pamong praja jika pendidikan yang diberikan dipenuhi kekerasan, senioritas dan kekuasa

Hujan Bulan Juli

Bulan Juli ini mendatangkan senyum dan tangis padaku. Tangisku biarlah kusimpan dalam diriku yang mencoba berproses melalui ujian hidup. Senyumku hadir membantu diriku untuk berdiri tegak disini. Bulan ini, tanggal 8 Juli, ada dua puisi-ku yang dimuat di sebuah harian lokal daerah, setidaknya itu membuatku tersenyum. Disini, kembali aku dedikasikan kedua puisi-ku ini, dengan kata-kata setidaknya aku mampu mengolah jiwa dan membuatku tersenyum. Media katarsis yang paling nyaman bagiku selain mencoretkan kuas diatas kanvas. Coretan kuas-ku diatas kanvas selalu menimbulkan setumpuk pertanyaan bagi teman-temanku, yah karena aku sekadar asal corat-coret tanpa peduli hasil akhirnya...bagi mereka mungkin aneh, sering mereka memberi saran untuk membuat konsep lukisan secara jelas, membuat sketsa-sketsa menggunakan pensil sebelum kuas berlumur cat minyak itu memoles kanvas putih itu. Tak pernah aku mengindahkan berbagai saran itu karena menurutku itu bentuk pembatasan ekspresi, haha.....setidak

Kesetiaan

Ketika kesetiaan dipertanyakan Adakah yang bisa memberi jawaban? Tak ada kesetiaan Bayang-bayang tak lagi menemani saat matahari menghilang Jejak langkah tak lagi menyertai saat semuanya telah terjadi Masa lalu tak akan pernah kembali Awan menghilang setelah hujan berkorban Bulan bersembunyi saat fajar menjelang Tak ada kesetiaan Selain maut menjelang dalam setiap helaan nafas Kemana langkah berpaling, kesana langkah tertuju Kemana harus berlari jika disana telah ditunggu Kemana harus pergi jika rumah menanti Hanya ada sebuah kesetiaan untuk kembali pulang Tak bisa kuberpaling dariMu SintesaFiles, Juli 2007

Episode Piala Asia 2007-Impossible is Nothing

Dan….Aku Bangga dengan Timnas-ku Lama sekali rasanya sudah tidak menikmati euforia kebanggaan terhadap timnas Indonesia, hingga sering terdengar nada-nada pesimis terhadap kemampuan timnas. Namun, hari Sabtu kemarin, semua keraguan itu terhapus, lagu Indonesia dinyanyikan serempak oleh ribuan supporter yang memadati GBK bersama pemain-pemain timnas lengkap di tribun kehormatan Presiden SBY dan Ibu Negara. Tak ada hal yang tak mungkin, bermodal semangat sebagai tim underdog, Indonesia tampil “kesetanan” membela sang Merah Putih. Jiwa nasionalisme yang telah meredup terbenam berbagai masalah yang menimpa bangsa ini kembali menyala, dalam satu nafas “Indonesia Raya”. Bertanding melawan tim yang telah tiga kali mengecap manisnya juara Piala Asia dan langganan ikut serta dalam Piala Dunia tak membuat gentar nyali timnas Indonesia. Bangga sekali melihat permainan timnas, meskipun berkali-kali wasit mengambil keputusan yang kurang bijak bagi kita. Wasit yang sama-sama berasal dari jazirah

Episode Piala Asia

Pet......Gelora Bung Karno pun Menjadi Gulita Pertandingan sudah berlangsung 84 menit. Penampilan kedua tim macan bola Asia itu tampak menggigit, serangan demi serangan tim Korea Selatan menemui pertahanan keras tim Arab Saudi. Gol yang telah dikemas oleh Korsel pun telah dibalas, skor sama imbang, 1-1. Permainan apik dua tim yang akan menjadi lawan timnas kita berikutnya. Tiba-tiba……pet…….pet…..satu sisi lampu stadion mati, alhasil pertandingan pun dihentikan. Para pemain kedua kesebelasan pun memperoleh kesempatan untuk leyeh-leyeh dan tiduran menikmati rumput stadion (yang semoga tidak turun hujan selama Piala Asia ini berlangsung hehe….jika tidak ingin berkubang dalam lumpur). Gimana nih? Pertandingan sekelas Piala Asia pun tak luput dari mati lampu. Apa PLN kita kekurangan bahan bakar lagi sehingga perlu mengadakan “giliran” dan yang ketiban “giliran” itu Gelora Bung Karno? Atau panitia yang kurang sigap menghadapi segala kemungkinan? Technical error seperti itu harusnya sudah

Episode Taufik Savalas

In Memoriam Taufik Savalas Pagi baru saja menepi, ketika aku membuka mata dan kudapati berita di layar TV. Innalillahi wa’innaillaihi roji’un, semua yang dariNya akan kembali padaNya. Jika Dia sudah berkehendak, tak ada yang bisa melawanNya. Dimanapun kita berada, kekayaan atau kemiskinan, kepandaian atau kebodohan, kebaikan atau kejahatan seseorang, sudah tak berarti, sudah tak ada nyali jika berhadapan dengan kuasaNya. Seperti rejeki, maut juga datang melalui jalan yang tak pernah disangka. Berita berpulangnya sang komedian, Taufik Savalas, mungkin mengagetkan jutaan rakyat Indonesia yang pernah dihiburnya. Termasuk ibu-ku (dari cerita kakak-ku via telp tadi pagi), dengan sedih beliau bergumam, “Taufik meninggal…..”. “Mata beliau pun berkaca-kaca,” lanjut kakakku. Bisa kubayangkan kesedihan beliau seperti apa, meski tidak pernah mengenal atau bertemu secara langsung, tapi canda tawa dan tingkah polah yang tersaji melalui layar televise sering menemani hari-hari ibuku dan membuat be

Episode Piala Asia 2007

Ketika sore itu berkumandang lagu yang sudah lama tak kudengarkan. Meskipun dulu sering kunyanyikan, setidaknya seminggu sekali. Kadang kunyanyikan dengan nada sumbang meski aku sudah setengah mati latihan. Dengan kaki terayun kiri kanan dan topi miring diatas kepalaku, setidaknya 12 tahun aku telah menyanyikan lagu itu, namun tak pernah begitu menyentuh perasaanku. Aku menjalankannya sebagai kewajiban, sekedar menghindari hukuman guru yang mungkin akan menjemurku ditengah lapangan, dengan tangan dibelakang pingganggu hingga peluh mengucur dari kening dan telapak tanganku. Sore itu nada sumbang pun terdengar, dari lautan manusia yang memerahkan Gelora. Bercampur aduk antara Jakmania, Bobotoh, Pasoepati ataupun Laskar Mataram, tanpa ada batas identitas antara mereka. Semua menjadi satu. Tangan terkepal didada, tempat Garuda bertengger dengan gagahnya, berkalungkan syal bertuliskan Indonesia sambil mengibarkan bendera merah putih raksasa. Lagu itu terdengar penuh gelora, menumbuhkan na

Episode Jogjakarta

Apakah Jogja Sudah Berubah? Aku menyusuri kembali jalan-jalan kota ini setelah sepuluh tahun berlalu semuanya telah berubah. Jajaran coffee shop yang bersaing memberikan kemanjaan fasilitas untuk menggaet konsumen-konsumen anak muda. Aku tidak menyangka jika perjalanan hidupku membawaku kembali ke kota ini. Lima tahun yang lalu aku meninggalkan kota ini dengan semua harapan-harapan dalam genggamanku. Kujejakkan kaki dan kuhirup udara Jakarta dengan gelegak semangat mudaku. Berbagai tawaran pekerjaan kuterima dari puluhan surat lamaran yang kuajukan. Beberapa tahun kulalui hingga aku memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi lagi meski konsekuensinya aku harus melepaskan pekerjaanku. Setiap langkah adalah pilihan, setiap pilihan memiliki resiko, dan aku memilih resiko itu. Sehingga aku kembali berdiri dikota ini dengan status yang sama dengan sepuluh tahun lalu saat aku pertama kali disini, mahasiswa. Sejenak aku terjebak dalam romantisme masa lalu, demonstrasi membangun refor

Dream and Hope

Apakah mimpi (masih) menjadi harapan? Mimpi tak terbeli, saat getar hati endapkan rasa. Tangan bertepuk mengibas angin. Selaksa senja merah tertawa. Duka menghadap jadi belahan jiwa. Sebuah dendam telah berkarat, meruapkan segala. Ujian hidup, ujian hati. Jiwa berayun merepih senja. Langkah tanpa kaki. Terbang tanpa sayap. Tangis tanpa airmata. Saat pijak langkah merapuh, akankah kuhanyut? Meretas mimpi dalam pelukan, haruskan kulepas?

Dari Lavoisier Menuju Fromm

Refleksi: 1997-2007 Sebuah elegi hadir menyambutku Sekedar menghantarkan romantisme masa lalu Sesaat engkau datang menyapaku Belum sempat kuucapkan sepatah kata jawabku Engkau telah menghilang Bayangmu pun pudar oleh waktu Meski engkau telah menyakitiku Aku tak mampu menghadapimu Namun..... Aku tidak bisa membencimu Jangan engkau menyalahkanku Sebuah hati yang layu oleh waktu Aku harus belajar mengenalmu Aku harus mampu mengalahkanmu Kubuang semua egoku Kugenggam asa itu Kupersembahkan untuk ibu Ketika ku berjalan Menyusuri kembali jalan tua kota ini Laju waktu telah menghampiriku Meski sepuluh tahun telah berlalu Aku masih mengingatmu Menempatkanmu di penggalan ruang hidupku Ku sadari dimensi berbeda antara kita Membawa asaku melangkah disini Rajut mimpi untuk sebuah pilihan Ku pijakkan kakiku dalam dunia Fromm Yogyakarta, Januari 2007

Catatan Secangkir Kopi

Gambar
Risk Taking Behavior Pernikahan ibarat pertaruhan Bagi lelaki, dia mempertaruhkan kebebasannya Bagi perempuan, dia mempertaruhkan kebahagiaannya Bagaimana, apakah anda setuju dengan pernyataan diatas? Saya tidak memaksa anda untuk setuju terhadap ungkapan diatas, karena jika saya memaksa berarti saya telah merebut kebebasan anda. Setiap manusia memiliki hak hidup yang didalamnya termuat kebebasan. Kebebasan berkreasi, kebebasan mencintai, kebebasan memilih, kebebasan memilih diam atau bicara, kebebasan menulis atau bermimpi dan lain sebagainya. Berbicara mengenai kebebasan, Sumanto pun berhak untuk menghirup udara bebas meskipun masyarakat didesanya menolak kehadirannya karena masih trauma terhadap manusia kanibal tersebut. Meski sama-sama baru keluar dari penjara dan menghirup udara bebas namun demikian berbeda antara Sumanto dan Tomy Suharto. Yups, kembali ke topik pembicaraan diatas mengenai pernikahan. Pernikahan merupakan risk taking behavior . Istilah risk takin