Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2007

Hujan Bulan Juli

Bulan Juli ini mendatangkan senyum dan tangis padaku. Tangisku biarlah kusimpan dalam diriku yang mencoba berproses melalui ujian hidup. Senyumku hadir membantu diriku untuk berdiri tegak disini. Bulan ini, tanggal 8 Juli, ada dua puisi-ku yang dimuat di sebuah harian lokal daerah, setidaknya itu membuatku tersenyum. Disini, kembali aku dedikasikan kedua puisi-ku ini, dengan kata-kata setidaknya aku mampu mengolah jiwa dan membuatku tersenyum. Media katarsis yang paling nyaman bagiku selain mencoretkan kuas diatas kanvas. Coretan kuas-ku diatas kanvas selalu menimbulkan setumpuk pertanyaan bagi teman-temanku, yah karena aku sekadar asal corat-coret tanpa peduli hasil akhirnya...bagi mereka mungkin aneh, sering mereka memberi saran untuk membuat konsep lukisan secara jelas, membuat sketsa-sketsa menggunakan pensil sebelum kuas berlumur cat minyak itu memoles kanvas putih itu. Tak pernah aku mengindahkan berbagai saran itu karena menurutku itu bentuk pembatasan ekspresi, haha.....setidak

Kesetiaan

Ketika kesetiaan dipertanyakan Adakah yang bisa memberi jawaban? Tak ada kesetiaan Bayang-bayang tak lagi menemani saat matahari menghilang Jejak langkah tak lagi menyertai saat semuanya telah terjadi Masa lalu tak akan pernah kembali Awan menghilang setelah hujan berkorban Bulan bersembunyi saat fajar menjelang Tak ada kesetiaan Selain maut menjelang dalam setiap helaan nafas Kemana langkah berpaling, kesana langkah tertuju Kemana harus berlari jika disana telah ditunggu Kemana harus pergi jika rumah menanti Hanya ada sebuah kesetiaan untuk kembali pulang Tak bisa kuberpaling dariMu SintesaFiles, Juli 2007

Episode Piala Asia 2007-Impossible is Nothing

Dan….Aku Bangga dengan Timnas-ku Lama sekali rasanya sudah tidak menikmati euforia kebanggaan terhadap timnas Indonesia, hingga sering terdengar nada-nada pesimis terhadap kemampuan timnas. Namun, hari Sabtu kemarin, semua keraguan itu terhapus, lagu Indonesia dinyanyikan serempak oleh ribuan supporter yang memadati GBK bersama pemain-pemain timnas lengkap di tribun kehormatan Presiden SBY dan Ibu Negara. Tak ada hal yang tak mungkin, bermodal semangat sebagai tim underdog, Indonesia tampil “kesetanan” membela sang Merah Putih. Jiwa nasionalisme yang telah meredup terbenam berbagai masalah yang menimpa bangsa ini kembali menyala, dalam satu nafas “Indonesia Raya”. Bertanding melawan tim yang telah tiga kali mengecap manisnya juara Piala Asia dan langganan ikut serta dalam Piala Dunia tak membuat gentar nyali timnas Indonesia. Bangga sekali melihat permainan timnas, meskipun berkali-kali wasit mengambil keputusan yang kurang bijak bagi kita. Wasit yang sama-sama berasal dari jazirah

Episode Piala Asia

Pet......Gelora Bung Karno pun Menjadi Gulita Pertandingan sudah berlangsung 84 menit. Penampilan kedua tim macan bola Asia itu tampak menggigit, serangan demi serangan tim Korea Selatan menemui pertahanan keras tim Arab Saudi. Gol yang telah dikemas oleh Korsel pun telah dibalas, skor sama imbang, 1-1. Permainan apik dua tim yang akan menjadi lawan timnas kita berikutnya. Tiba-tiba……pet…….pet…..satu sisi lampu stadion mati, alhasil pertandingan pun dihentikan. Para pemain kedua kesebelasan pun memperoleh kesempatan untuk leyeh-leyeh dan tiduran menikmati rumput stadion (yang semoga tidak turun hujan selama Piala Asia ini berlangsung hehe….jika tidak ingin berkubang dalam lumpur). Gimana nih? Pertandingan sekelas Piala Asia pun tak luput dari mati lampu. Apa PLN kita kekurangan bahan bakar lagi sehingga perlu mengadakan “giliran” dan yang ketiban “giliran” itu Gelora Bung Karno? Atau panitia yang kurang sigap menghadapi segala kemungkinan? Technical error seperti itu harusnya sudah

Episode Taufik Savalas

In Memoriam Taufik Savalas Pagi baru saja menepi, ketika aku membuka mata dan kudapati berita di layar TV. Innalillahi wa’innaillaihi roji’un, semua yang dariNya akan kembali padaNya. Jika Dia sudah berkehendak, tak ada yang bisa melawanNya. Dimanapun kita berada, kekayaan atau kemiskinan, kepandaian atau kebodohan, kebaikan atau kejahatan seseorang, sudah tak berarti, sudah tak ada nyali jika berhadapan dengan kuasaNya. Seperti rejeki, maut juga datang melalui jalan yang tak pernah disangka. Berita berpulangnya sang komedian, Taufik Savalas, mungkin mengagetkan jutaan rakyat Indonesia yang pernah dihiburnya. Termasuk ibu-ku (dari cerita kakak-ku via telp tadi pagi), dengan sedih beliau bergumam, “Taufik meninggal…..”. “Mata beliau pun berkaca-kaca,” lanjut kakakku. Bisa kubayangkan kesedihan beliau seperti apa, meski tidak pernah mengenal atau bertemu secara langsung, tapi canda tawa dan tingkah polah yang tersaji melalui layar televise sering menemani hari-hari ibuku dan membuat be

Episode Piala Asia 2007

Ketika sore itu berkumandang lagu yang sudah lama tak kudengarkan. Meskipun dulu sering kunyanyikan, setidaknya seminggu sekali. Kadang kunyanyikan dengan nada sumbang meski aku sudah setengah mati latihan. Dengan kaki terayun kiri kanan dan topi miring diatas kepalaku, setidaknya 12 tahun aku telah menyanyikan lagu itu, namun tak pernah begitu menyentuh perasaanku. Aku menjalankannya sebagai kewajiban, sekedar menghindari hukuman guru yang mungkin akan menjemurku ditengah lapangan, dengan tangan dibelakang pingganggu hingga peluh mengucur dari kening dan telapak tanganku. Sore itu nada sumbang pun terdengar, dari lautan manusia yang memerahkan Gelora. Bercampur aduk antara Jakmania, Bobotoh, Pasoepati ataupun Laskar Mataram, tanpa ada batas identitas antara mereka. Semua menjadi satu. Tangan terkepal didada, tempat Garuda bertengger dengan gagahnya, berkalungkan syal bertuliskan Indonesia sambil mengibarkan bendera merah putih raksasa. Lagu itu terdengar penuh gelora, menumbuhkan na

Episode Jogjakarta

Apakah Jogja Sudah Berubah? Aku menyusuri kembali jalan-jalan kota ini setelah sepuluh tahun berlalu semuanya telah berubah. Jajaran coffee shop yang bersaing memberikan kemanjaan fasilitas untuk menggaet konsumen-konsumen anak muda. Aku tidak menyangka jika perjalanan hidupku membawaku kembali ke kota ini. Lima tahun yang lalu aku meninggalkan kota ini dengan semua harapan-harapan dalam genggamanku. Kujejakkan kaki dan kuhirup udara Jakarta dengan gelegak semangat mudaku. Berbagai tawaran pekerjaan kuterima dari puluhan surat lamaran yang kuajukan. Beberapa tahun kulalui hingga aku memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi lagi meski konsekuensinya aku harus melepaskan pekerjaanku. Setiap langkah adalah pilihan, setiap pilihan memiliki resiko, dan aku memilih resiko itu. Sehingga aku kembali berdiri dikota ini dengan status yang sama dengan sepuluh tahun lalu saat aku pertama kali disini, mahasiswa. Sejenak aku terjebak dalam romantisme masa lalu, demonstrasi membangun refor

Dream and Hope

Apakah mimpi (masih) menjadi harapan? Mimpi tak terbeli, saat getar hati endapkan rasa. Tangan bertepuk mengibas angin. Selaksa senja merah tertawa. Duka menghadap jadi belahan jiwa. Sebuah dendam telah berkarat, meruapkan segala. Ujian hidup, ujian hati. Jiwa berayun merepih senja. Langkah tanpa kaki. Terbang tanpa sayap. Tangis tanpa airmata. Saat pijak langkah merapuh, akankah kuhanyut? Meretas mimpi dalam pelukan, haruskan kulepas?

Dari Lavoisier Menuju Fromm

Refleksi: 1997-2007 Sebuah elegi hadir menyambutku Sekedar menghantarkan romantisme masa lalu Sesaat engkau datang menyapaku Belum sempat kuucapkan sepatah kata jawabku Engkau telah menghilang Bayangmu pun pudar oleh waktu Meski engkau telah menyakitiku Aku tak mampu menghadapimu Namun..... Aku tidak bisa membencimu Jangan engkau menyalahkanku Sebuah hati yang layu oleh waktu Aku harus belajar mengenalmu Aku harus mampu mengalahkanmu Kubuang semua egoku Kugenggam asa itu Kupersembahkan untuk ibu Ketika ku berjalan Menyusuri kembali jalan tua kota ini Laju waktu telah menghampiriku Meski sepuluh tahun telah berlalu Aku masih mengingatmu Menempatkanmu di penggalan ruang hidupku Ku sadari dimensi berbeda antara kita Membawa asaku melangkah disini Rajut mimpi untuk sebuah pilihan Ku pijakkan kakiku dalam dunia Fromm Yogyakarta, Januari 2007

Catatan Secangkir Kopi

Gambar
Risk Taking Behavior Pernikahan ibarat pertaruhan Bagi lelaki, dia mempertaruhkan kebebasannya Bagi perempuan, dia mempertaruhkan kebahagiaannya Bagaimana, apakah anda setuju dengan pernyataan diatas? Saya tidak memaksa anda untuk setuju terhadap ungkapan diatas, karena jika saya memaksa berarti saya telah merebut kebebasan anda. Setiap manusia memiliki hak hidup yang didalamnya termuat kebebasan. Kebebasan berkreasi, kebebasan mencintai, kebebasan memilih, kebebasan memilih diam atau bicara, kebebasan menulis atau bermimpi dan lain sebagainya. Berbicara mengenai kebebasan, Sumanto pun berhak untuk menghirup udara bebas meskipun masyarakat didesanya menolak kehadirannya karena masih trauma terhadap manusia kanibal tersebut. Meski sama-sama baru keluar dari penjara dan menghirup udara bebas namun demikian berbeda antara Sumanto dan Tomy Suharto. Yups, kembali ke topik pembicaraan diatas mengenai pernikahan. Pernikahan merupakan risk taking behavior . Istilah risk takin