Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2007

Ketika Kasih Sayang Dipertanyakan

PULANG Namanya Clara, usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, sepertiga hidupnya telah dihabiskan di kota Madrid ini. Clara mewarisi bakat menari dari darah neneknya, Raden Ayu Sukmowati, penari handal dari Kraton Surakartahadiningrat. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahiran demi rasa cintanya pada budaya yang hampir punah dinegeri sendiri. Sekarang ini Clara merasa sudah saatnya pulang. Tuhan menentukan langkahnya dengan caraNya sendiri. Pelan ditekannya nomor yang sudah dihafalnya diluar kepala. Meskipun rasanya sudah lama sekali dia tidak menekan nomor ini, sekarang rasanya lain, ada euforia yang bercampur duka. Kerinduannya pada tanah air, bapak-ibu dan seorang adik yang telah lama ditinggalkannya. “Halo”, sebuah suara terdengar jauh, bergetar pelan dalam hati Clara. “Halo, Bapak. Ini Clara, saya mau pulang ke Indonesia, Pak” ungkap Clara pada Bapak. “Wah, benar, Nak? Senangnya mendengar keputusanmu itu, kapan rencanamu Ndhuk?” tanya Bapak. “Dua ming

MENCARI KEBAHAGIAAN

Apakah Engkau Sudah Bahagia? Selamat pagi, Embun? Apa kabarmu saat ini? Senang atau sedih, penuh harapan atau emptiness ? Apakah engkau masih mencari bahagia, Sayang? Bahagia tak mestinya harus dicari, karena bahagia itu ada dalam hati, bagaimana kita menyikapi setiap mozaik hidup kita ini menjadi elemen-elemen kebahagiaan yang dapat membangun energi positif bagi diri kita. Sulit ya? Ah, ataukah engkau sudah terjangkiti affluenza ? Masak kau bilang nggak mengerti apa itu affluenza ? Banyak-banyak membaca ya, Embun! Waduh jangan marah dong, aku khan cuma sekedar mengingatkan mumpung engkau masih muda dan sebelum kita menginjakkan kaki di Kye Gompa (wah tak pernah disangka jika kita memiliki mimpi yang sama dengan penulis buku tetralogi favorit kita itu!). Oya kembali lagi ke affluenza ya, itu berasal dari gabungan kata affluence dan influenza , merupakan virus yang menyerang jiwa untuk terus lebih mencapai kesuksesan dan kekayaan, kadang juga diterjemahkan sebagai keinginan selalu m

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Pagi ini aku termenung.....didepanku terdapat laptop dan ponsel yang selalu setia menemaniku. Sesaat teringat beberapa pesan singkat yang baru saja kuterima dan kukirimkan pada seorang teman. Jika aku memiliki sebuah kayu dan beberapa paku, kayu itu terlihat bersih tak ada goresan dikulitnya. Kemudian aku ambil paku dan kutancapkan pada kayu itu. Paku yang tertancap pada kayu dapat kucabut menggunakan tang, berhasil! Kemudian paku-paku itu kutancapkan lagi di beberapa bagian lain dari kayu itu, beberapa tempat sengaja kupilih, beberapa tempat lainnya asal aja. Kemudian dengan menggunakan tang kembali kucabuti paku-paku itu, ada yang susah namun ada juga yang dengan mudah kucabut. Setelah selesai semua kuperhatikan kembali kayu itu, sudah bersih tanpa ada lagi paku yang tertancap padanya, namun saat kuperhatikan lebih seksama lagi, banyak sekali luka-luka bekas paku yang tadi kutancapkan dengan sengaja ataupun asal tadi. Luka-luka itu tersebar di sekujur badan kayu, menganga, mungkin ak

Terimakasih Ramadhan

Detik begitu cepat berlalu, tanpa kusadari langkahku telah dihadapkan pada Ramadhan yang baru. Terimakasih Tuhan, Engkau anugerahkan waktu kepadaku untuk menyelami cintaMu yang telah sekian lama kuabaikan. Kerinduanku kepadaMu yang selama ini terasa semakin kosong terbelenggu rutinitas yang kudewakan. Dalam pijak rapuhku, dalam kesendirianku, dalam diamku, dalam tangisku, dalam kesombonganku, dalam senyumku, dalam langkah yang menjauh dariMu. Semakin kuyakini arti hadirMu. Terimalah diriku dalam pelukanMu, ampuni salah dan khilafku. Berikan cahaya cinta dan damai-Mu kepadaku. Diriku hanya titian kecil yang belajar tentang hidup. Memaknai mozaik-mozaik berserakan dalam kehidupan yang Engkau anugerahkan kepadaku. Terangilah cahaya kehidupanku. Saat tak ada kesetiaan yang tersisa selain kuberpaling padaMu. Hanya kepadaMu aku berserah diri dan hanya kepadaMu aku kembali.

Secangkir Kopi dari Porong

Sesak menyeruak dalam batinku. Kau benamkan diriku dalam tanah gelap. Jengah menunggumu dalam penantian. Tak terhitung berapa detik telah kuhabiskan. Namun engkau tak juga datang. Yang kau berikan hanya ketidakpastian demi ketidakpastian. Kopi ini terasa semakin pahit. Apa kau pikir, aku, istriku dan anak-anakku bisa berlindung dalam janji-janjimu? Perut kami tak mengenali kata-kata sebagai pemuas nafsunya. Tubuh kami tidak mengenali ketidakpastian sebagai penjaganya. Kami menggigil diterpa angin yang tak peduli dengan penantian. Punggung kami sudah terasa semakin tebal berteman dinginnya lantai pasar Porong. Pagi hari saat mataku terjaga, semburat panas menerpaku. Dari balik tirai yang terkoyak. Terkenang akan masa lalu, aku ingin menyapu halaman rumahku, aku ingin menyiram tanaman dikebunku, aku ingin mengantar sekolah anakku, dan aku juga ingin bercengkerama dengan tetanggaku. Namun saat aku beranjak, semuanya telah lenyap. Tenggelam dalam lumpur pekat. Aku harus kemana? Mer