Legundi
Noktah hitam itu hampir tak terlihat dalam peta negeriku tercinta. Meski tak terlalu jauh jaraknya dari mereka yang mengaku sebagai pengemban peradaban dunia. Atau mungkin aku yang telah buta sekaligus tuli terkubur dalam tembok tinggi, tertimbun buku-buku tebal dan jurnal-jurnal yang serasa makin meracuniku dengan nafsu bertopengkan ilmu. Jarak sepelemparan batu dalam langkah-langkah hidupku, kutemukan teritori itu, hitam, keras dan panas. Sepenggal tanya merasuk dalam kepalaku, apakah ini sebuah episode hidup lain dari antah berantah yang biasa kubaca dalam artikel-artikel dunia maya? Senja itu datang, bergelayut muram dihadapanku. Bayang-bayang muram tersaji didepan mataku. Petak-petak kecil itu mengaku sebagai pintu penjemput untuk memasuki gerbang hidup kekal. Seperti anak kecil yang berbaris rapi, berderet menunggu pengadilan sejati. Lansekap hitam masuk, berjejalan, merasuk, berebut pijak dalam kornea mataku. Permadani hitam terhampar, sebatang pohon kecil berjuang untuk tumbuh