Kisah Perempuan Tak Bernama

Seorang anak manusia tak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi pengajuan proposal mengenai ras, garis muka, warna kulit ataupun jenis rambut, semuanya telah diberikan begitu agung oleh Yang Maha Kuasa. Setelah anak itu lahir, kemudian yang beruntung akan tumbuh dan berkembang dalam balutan kasih sayang ataupun yang termarjinalkan karena ketidakberdayaan orang tua dan orang-orang sekitarnya. Sebagian meyakini itu sebagai garis nasib yang harus dijalani sang anak dalam berproses. Hasil akhir proses itu? Wallahuallam!


Bertahun-tahun yang lalu, seorang anak manusia lahir, disebuah desa dibelahan pantura, Pantai Utara Jawa. Diantara tanah kering yang memerah dan tandus. Diantara desau anyir angin laut. Diantara gesekan daun-daun karet yang berjajar rapi di Kerkhoff. Diantara jejeran nisan kumpeni yang meninggalkan jejak kemegahan masa lalu. Tonggak kehidupan hedonisme telah terpancang kuat. Terlahir dalam jerat kemiskinan, tak pernah sekalipun diharapkannya. "Namun, hidup mesti terus berjalan!" ungkapnya dengan wajah tersipu. Kemudian pelan dia bercerita tentang dirinya.


Aku terbang mengikuti camar ke berbagai penjuru negeri, hingga kepakan sayap lemah sang camar membawaku ke pulau ujung timur nusantara. Tak ada alasan lain, semua kulakukan demi permata-permata hatiku dan pengabdianku pada suami tercinta. Demi tahta materialisme yang selalu kupuja-puja. Dengan begitu aku bisa menunjukkan cinta kasihku pada negara. Predikat dermawan pasti dalam genggaman, dengan berbagai sumbangan yang kuberikan untuk membangun rumah ibadah, membantu korban bencana atau sekedar mengundang konser dangdut untuk menghibur rakyat jelata. Setidaknya aku mampu membantu petinggi negeri penggenggam kekuasaan yang selalu bermimpi mensejahterakan rakyat namun selalu lupa saat rupiah-rupiah mengalir deras ke kantong-kantong pribadi. Toh, aku lebih baik dari mereka. Bahkan Pak Lurah pun menyanjungku ketika bertemu tamu-tamu itu didesaku.


Tulus dari lubuk hatiku terdalam, aku melakukannya dengan ikhlas. Kusandarkan kekuatan mimpi-mimpiku pada dosis-dosis antibiotik yang rutin mengaliri ususku, tak lupa kutenggak jamu dan vitamin penambah tenaga yang semakin membuat penat ginjalku. Aku lupa berapa liter minuman keras yang kutelan memenuhi lambungku. Aku tak peduli meski itu semua membuat semakin tumpul otakku yang sempat mengenyam pendidikan madrasah ini. Bahaya virus pencabut nyawa itu kuhindari dengan konsensus nyata dengan para pelanggan. Tidak boleh tidak, mereka harus memenuhi persyaratanku itu. Tak perlu waktu lama, puluhan juta rupiah itu jatuh kepangkuanku dan membawaku kembali ke desa ini. Pulang kedekapan suami tercinta dan peluk rindu permata-permata hatiku.


Sejenak meletakkan bahu letihku, menikmati sejumput mimpi yang bisa kubeli. Kupersembahkan kuda bermesin itu sebagai wujud darmabaktiku pada suami tercinta. Namun apa daya, motor berharga belasan juta itu luluh lantak saat suamiku tercinta mengendarainya dengan otak berlumur alkohol. Sepanjang ingatanku, dia seorang yang lebih sering mabuk daripada tidak. "Yah sudahlah, kuikhlaskan saja, toh uang bisa dicari lagi," ungkapku. Lumayan masih laku dijual meski harganya tinggal sepertiga. Aku mencintai suamiku meski selalu berendam dalam minuman keras. Suamiku seorang pencinta sejati keindahan perempuan. Buktinya, sekarang ini aku adalah istri ketiganya. Yang jelas dua mantan istrinya juga bernasib sama denganku menjadi mesin pencari uang demi gelak tawa dan gelimang minuman keras untuk menghidupi detak nadi lelaki itu.


Kemarin, lelang yang terlempar 15 juta rupiah, namun jumlah itu dirasa masih kurang hingga aku tak jadi dilelang……. Aku masih mencintai suamiku. Selalu kutunggu hingga kapan dia mengamini lelang itu.


Aku akan kembali terbang ke pulau ujung nusantara, namun tangis sang permata hati menggelayuti kakiku, sejenak mampu menghentikan langkahku. Aku masih muda, jalanku masih terbentang lebar. Aku menjalankan darma baktiku pada suami dan anak-anakku. "Inilah garis hidup saya, Mbak!" ucapku pelan.

Aku berdiri dan berpaling, melangkah pergi.


Written by SintesaFiles-2007. Thanks untuk Chandra atas ide-idenya, juga teman-teman seperjalanan lainnya saat kita menyaksikan hitam putih dan abu-abunya dunia ini.

Sebuah catatan yang tersisa dari perjalanan ke sebuah desa di Pantura, akhir tahun 2006. Lama kuterdiam merenungi kata demi kata perempuan yang belum genap dua puluh sembilan tahun itu. Apakah kehidupan sedemikian keras? Sekeras batuan cadas yang menggunung tak jauh dari desa itu. Seangkuh gunung granit yang sudah terkoyak desakan ekonomi yang tak peduli lagi dengan nyawa para penambangnya yang setiap saat dapat terkubur hidup-hidup. Mungkin seperti kehidupan perempuan itu. Ah........ Aku tak mau terjebak dalam pemikiranku sendiri.

Komentar

Luna mengatakan…
Perempuan .... makhluk ini lah yang bisa melakukan segalanya buat yang dikasihinya.
Menurutmu, apa dia masih mencari ‘sumber kebahagiaan’nya?
Lagi-lagi kita sampai pada satu dilema, bahagia, apa ‘wujudnya’?
Pantas aja muncul the science of subjective well-being, siapa bilang ‘aku’ gak bahagia?
Salut buat ‘angel’ dan ‘tema’ yang luas, menunjukkan minat dan wawasan yang luas pula.

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan