Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Ramadhan masih berada ditengah perjalanan, sepuluh hari pertama telah terlampaui, begitu cepat waktu berlalu meninggalkanku. Kenapa waktu berlalu? Apakah waktu itu ada ataukah sekedar hitung-hitungan matematis hasil indoktrinasi yang kita terima sejak masih kecil? Ah, aku sedang tak mau berpikir tentang hal itu. Yang jelas pagi tadi, aku melihat lelaki itu berjalan menyusuri jalan utama kota ini. Mengenakan kaos kuning yang telah lusuh dan celana panjang hitam yang tak rapi. Aku menebak lelaki itu berusia empat puluhan tahun, entah benar atau tidak atau mungkin lebih muda dari itu. Lagi….lagi… berbicara tentang umur berarti berbicara tentang dimensi waktu, siapa yang membuat satuan waktu detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun? Semua itu rekayasa! Kembali tentang lelaki itu, berjalan sedikit cepat melintas dihadapanku. Dibahunya terdapat pikulan penyeimbang dengan beban di kiri-kanan, berjalan melintas ditengah deru kendaraan lalu lalang yang semakin padat dan menyesakkan. Dua tumpuk besar krupuk, makanan masa lampau itu membebani pundak kanan-kirinya, aku tidak tahu berapa berat tumpukan krupuk-krupuk itu, tapi kalau melihat langkah cepat yang kadang terseok-seok kanan-kiri, seolah memberi jawaban bahwa makanan yang ringan itu telah bersatu dalam satu beban massa yang relatif besar. Apalagi jika lelaki itu juga sedang berpuasa. Kupandangi punggung lelaki itu sampai menghilang dari penglihatan.


Sehari ini aku telah beraktifitas, pontang-panting melengkapi bahan writing competition yang sedang kucoba ikuti ditambah urusan birokrasi administrasi beasiswa-ku yang tersendat tiga bulan terakhir ini. Setelah sesaat terkapar, kembali aku keluar ke jalan itu, sekedar mencari sedikit hidangan penggugah selera buka puasa nanti. Aku berada di sebuah toko kue, tak lama kemudian melintas didepanku lelaki yang kulihat tadi pagi. Berjalan dengan arah yang berlawanan dari yang kulihat sebelumnya. Mungkin dia menuju ke arah pulang. Langkahnya masih sama, cepat dengan sedikit terseok-seok. Kulihat beban di pundaknya, masih sama dua tumpukan besar krupuk di pundak kanan-kirinya, meski kulihat sudah sedikit berkurang sekitar empat bungkus krupuknya yang mungkin laku terjual. Aku terdiam, sesaat kulirik kantong platik ditanganku, didalamnya terdapat kardus kecil makanan, ada pudding, lumpia, tahu sumedang, cocktail, tahu bakso, tahu udang, brownies……. Euforia menyambut buka puasa, terlalu berlebihan!


Lelaki itu mungkin harus berjuang lebih keras dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan kota yang tak lagi ramah ini demi memperoleh setangkup rupiah untuk makan sekeluarga dan biaya sekolah anak-anaknya. Sesaat aku teringat ayahku, Bapak yang telah pensiun lebih dari dua puluh tahun lalu saat aku masih menginjakkan kaki dibangku sekolah dasar. Bapak masih harus bekerja keras saat orang lain biasanya tinggal menikmati hari tuanya. Karena semua putra-putrinya masih sekolah, dari SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Semua dilakukan keduaorangtuaku agar ketujuh putra-putrinya tetap bisa menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya. Untung ibuku sosok perempuan tangguh, perempuan Jawa sejati yang selalu nrimo tapi juga tak pernah putus asa dalam hidup. Satu hal yang seharusnya kupelajari dari kedua orangtuaku, optimis! Berusahalah, maka mimpimu akan tercapai. Lagu lama itu selalu membuatku mengharu biru. Aku biasa mendengar lagu itu saat aku masih kecil, dari radio tape kayu andalan itu. Teringat wajah Ibu yang selalu tersenyum, hampir tak pernah kuingat kapan Ibu pernah marah padaku. Teringat garis-garis keras di wajah Bapak, wajah penuh perjuangan membesarkan ketujuh putra-putrinya. Hingga kini, semuanya telah berlalu……Terimakasih Bapak-Ibu, maafkan aku yang kadang lalai menjagamu…..


Aku ingin pulang…………….

Komentar

Luna mengatakan…
Sintesa,
Seorang penulis, lahir dan berkembang salah satunya dari pengalaman hidupnya. Kepekaan merefleksikan konteks sejarah hidupnya sendiri dan ketajaman menatap tapak-tapak yang dilaluinya, menjadikan goresannya kian hari kian ‘bernyawa’.

Bravo yee ...
Putut Suharso mengatakan…
Ramadhan...
Alloh, Engkau Maha Besar. Engkau kabulkan doaku.

Ayah, Ibu... aku sudah tidak tega melihatmu berpeluh tiap hari. Kapankah aku bisa meringkankan "beban" berat mereka.

Aku masih seperti ini.... maafkan.

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan