Tak Harus Menyerah

Maaf terendap senyap. Dendam berkarat meracun jiwa hampa menyapa.
Kering daun diterpa angin saat rasa ingin menyerah. Jiwa menghentak.
Tembok itu telah bertumbuh lumut, menutup semua niat untuk menyentuh.
Peluh tak mampu peluk. Tembok itu menanti roboh.
Lumut menggenggam angkara. Pelan menuju kematian.
Nyanyian kembang setaman, tangis kawanan lebah mendengung pelan.
Sesaat menghilang...

Akhir sebuah cerita tak harus dengan tawa atau airmata, sejatinya semua tak pernah usai.
Hanya lakon berganti.
Tinggal Sang Dalang berkehendak memainkan peran.

SintesaFiles, 20 Agustus 2007

Komentar

yans84 mengatakan…
sebuah untaian kata-kata yang akan lebih indah jika dibacakan oleh seseorang dengan penuh penjiwaan....
:)


nb:
puisi2nya dibikin buku antologi puisi aja mbak....ntar aku nyuwun...he..he..he..
SintesaFiles mengatakan…
Makasih Yan....:-)
Semoga, suatu hari nanti bisa ya.....
Luna mengatakan…
Dengan menulis, secara gak langsung kita mengukuhkan ‘refleksi kita’, ‘pandangan kita’ dan ‘opini kita’ , meski tataran prosentasenya bergerak 1-100%.

Sintesa .... mungkin gak sepenuhnya disadari ... ada yg selalu siap roboh bersama atau singsingkan baju singkirkan lumut atau sebatas mencarikan kayu penopang tembok (karena pakai tangan sendiri gak kuat) ....

‘ketulusan’ itu gak akan mudah disadari .... jika tak dipupuk dan dipelihara’ dan juga ditemukan.

Luka dan bisa kubawa berlari...hingga hilang pedih dan perih ...

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan