Refleksi Tragedi IPDN (Lagi........!!!)

Jejak Kekerasan Calon Pemimpin Masa Depan

Mengapa berita yang tersiar dari kampus megah di bumi Jatinangor selalu membuat miris? Berita duka menghampiri kita bertubi-tubi, kematian praja yang sudah menjadi kesekian kali, praja yang dirawat di rumah sakit karena "ketidaksengajaan" pengasuh dalam memberi hukuman, kasus narkoba, terakhir perkelahian massal yang membawa kematian Wendy Budiman, seorang warga Jatinangor. Kata apa yang pas untuk semua itu? Miris, ironis, menyedihkan! Anggaran ratusan milyar yang diguyurkan dari kantong kering rakyat dengan harapan menjulang telah terberangus oleh sistem pendidikan yang menyedihkan. Bagaimana tidak? Lihat saja para calon siswa terpilih namun sistem pendidikan telah mengubah mereka menjadi manusia yang seringkali lebih memilih otot dalam penyelesaian permasalahan. Apakah nantinya rakyat juga dilayani dengan otot bukan otak. Bagaimana nantinya para pamong praja jika pendidikan yang diberikan dipenuhi kekerasan, senioritas dan kekuasaan? Jadi pamong praja yang menjadi pengayom atau pangereh? Sistem pendidikan IPDN telah menciptakan pemimpin-pemimpin sipil masa depan yang dipenuhi akar dendam kekerasan dengan mengadopsi pembinaan ala militer secara menyimpang yang menekankan kekuatan dan kekuasaan senior.

Peleburan STPDN dengan IIP menjadi IPDN bertujuan memutuskan mata rantai kekerasan dengan memindahkan pendidikan sementara beberapa tahun yang lalu di Jakarta ternyata bukanlah solusi yang efektif. Baju baru berupa identitas nama yang berubah tanpa disertai pembenahan kultur dan sistem pendidikan yang sudah mengakar belasan tahun tidak akan memberikan hasil yang signifikan. Tragedi yang terjadi dalam kampus IPDN bukan semata tanggung jawab praja pelaku kekerasan namun juga institusi penyelenggara pendidikan. Perilaku para praja tersebut merupakan perwujudan kultur kekerasan yang masih lestari dalam kampus IPDN. Jika perubahan hanya dilakukan setengah hati, hasil apa yang bisa dipetik?

Kekerasan yang terjadi dalam kampus IPDN merupakan produk sistem dan kultur pendidikan yang salah selama belasan tahun, sehingga tidak adil jika kejadian ini hanya dibebankan terhadap para praja pelaku kekerasan. Semua permasalahan dan kebobrokan harus dibuka ke publik sehingga dapat dicari solusi yang bijaksana. Jika pihak-pihak terkait masih selalu tutup mulut maka masalah ini tidak pernah terselesaikan. Pembenahan yang dilakukan dalam IPDN harus berupa pembenahan institusi total meliputi sistem dan kultur pendidikan.

Menciptakan Ketakutan Berkelanjutan

Sistem pendidikan yang dipenuhi kekerasan dan penganiayaan senior terhadap yunior secara psikologis telah menciptakan iklim takut yang berkelanjutan (sustainability afraid). Rasa takut yang dipelihara merupakan takut terhadap punishment atau hukuman. Sehingga yang dilakukan adalah bagaimana cara menghindari hukuman tersebut, bagaimana membuat senior merasa senang sehingga yunior terbebas dari hukuman. Arogansi senior terus dipupuk pun ketika yunior telah beranjak menjadi senior. Arogansi dalam sistem pendidikan STPDN juga terbentuk dari berbagai lambang dan simbol kepangkatan yang digunakan dalam kehidupan kampus sehari-hari.Pun ketika sang praja telah menuntaskan pendidikan maka hal itu akan terbawa dalam kehidupannya di masyarakat. Sangat.....sangat.... mengkhawatirkan!

Selain itu sistem pendidikan yang membangun iklim takut berkelanjutan dapat membelenggu kreatifitas praja. Belenggu rasa takut itu dapat dilampiaskan dengan cara yang salah saat praja merasa terbebas, misalnya saat pesiar keluar kampus atau purna praja. Setiap pribadi praja merupakan pribadi yang unik dengan segala potensinya, namun semuanya itu tidak dapat teraktualisasikan dengan adanya sustainability afraid yang terus dipupuk. Perilaku ini akan berlanjut ketika mereka sudah berada dalam masyarakat, menjadi seorang pamong praja yang ABS (Asal Bapak Senang) dan arogan terhadap bawahan atau masyarakat. Seorang pamong praja yang seharusnya menjadi abdi dan pengayom masyarakat pun akan kehilangan kepekaan. Pamong praja bukanlah pemimpin militer tetapi mereka adalah pemimpin masyarakat sipil yang harus memiliki kepekaan terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat.

Kehilangan Kepekaan

Jika kepekaan telah hilang bagaimana bisa menjadi pemimpin yang baik? Idealnya seorang pemimpin harus dapat melakukan kepemimpinannya secara etis. Kepemimpinan secara etis adalah pemimpin yang memiliki integritas, empati dan membangun harapan bersama. Pemimpin harus memiliki integritas berupa kejujuran dan konsistensi terhadap nilai-nilai moral yang dibenarkan. Pemimpin yang memiliki empati akan memahami apa yang dirasakan dan diperlukan oleh masyarakat sehingga keputusan yang diambil dapat tepat sasaran dan tujuan. Aspek ketiga adalah pemimpin yang mampu membangun harapan. Pemimpin yang mampu membangun harapan dapat menggali potensi masyarakat sehingga tercipta kemandirian masyarakat. Kepemimpinan etis ini hanya dapat dilakukan jika seorang pemimpin memiliki kepekaan dan kreatifitas. Jika kepekaan dan kreatifitas dibelenggu sejak dalam pendidikan, bagaimana pemimpin masyarakat masa depan?

Seorang pamong praja harus memiliki kepekaan dan kreatifitas agar dapat menjadi pemimpin masyarakat yang baik. Kepekaan dan kreatifitas harus ditumbuhkembangkan sejak dalam pendidikan. Salah satunya dengan menghilangkan budaya kekerasan dalam pendidikan. Kepekaan sosial dapat dipupuk dan kreatifitas dapat dikembangkan ketika pendidikan tidak lagi mengadopsi budaya kekerasan dalam menciptakan disiplin melainkan dengan menciptakan budaya perdamaian dalam resolusi konflik. Penyelesaian permasalahan terhadap konflik secara damai dapat menjadi media pembelajaran mengenai keanekaragaman permasalahan dalam masyarakat yang akan dihadapi ketika telah menjadi pamong praja. Sehingga terciptanya pamong praja yang menjadi pengayom masyarakat bukan lagi hanya sekedar mimpi.

Ubah total sistem pendidikan IPDN atau bubarkan saja!
(SintesaFiles-2007)

Komentar

yans84 mengatakan…
IPDN mungkin bisa diibaratkan api dalam sekam...terutama bagi bangsa ini, mengingat IPDN adalah sekolah pencetak calon2 abdi masyarakat...selama ini (seingat saya)belum pernah terdengar berita menggembirakan yang datang dari IPDN...bahkan sangat jarang ada berita2 dari sana...tetapi begitu terdengar..yang ada hanyalah berita buruk....bahkan kadang bisa dibilang sangat buruk..atau..keterlaluan....!!
haruskah IPDN dibubarkan ?...mungkin itu merupakan jalan terbaik untuk menghentikan adanya berita2 buruk yang terjadi di sana lagi....akankah IPDN dibubarkan ?...Wallahualam.....
SintesaFiles mengatakan…
Mereka tak pernah mau belajar.....
Luna mengatakan…
mengusung disiplin, apa HANYA dengan cara 'semi-militer', yang jika 'soul'nya gak pas, maka mudah sekali diselewengkan?

sekedar ganti nama, perubahan model, tapi ROH sistim dasarnya gak ada perubahan, .... sama saja!

btw, di jaman era pra-kemerdekaan dulu, ada lho sekolah asrama yang 'amat disiplin' juga hadir lewat 'balada dara mendut'nya ... (tanpa sentuhan semi-militer)

bangsaku yang merana ...
tak punya daya ...
memilih cara ..
mendidik pamong-pamongnya ...
mau jadi apa kita sebagai bangsa?

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan