Sang Waktu

Rumah pasir tepian pantai, kubangun pelan dengan tetesan peluh hingga debur ombak datang menerjangnya, luluh kembali menjadi hamparan pasir datar. Tersenyum engkau disampingku, datang menghampiri dan kau hapus peluhku pelan. Apakah engkau tak letih, Embun? Ucapmu sesaat padaku. Ah, bahkan aku sendiri terlalu angkuh untuk berkata iya, dan menyandarkan bahu letihku padamu. Aku telah belajar menggali sumur terdalam dihatiku, memasukkan segala peluh dan keluhku kedalamnya. Aku hanya sepenggal noktah kecil bernama kehidupan yang digenggamkan Tuhan kepadaku. Dan aku terus menapakkan langkah kaki selama tak ada tangan yang menggenggamku.

Mengapa ada kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan? Siapa sejatinya yang paling setia menemani sang waktu? Apakah waktu itu benar-benar ada dan nyata? Ataukah sang waktu hanya sebuah simbol hasil konsensus masa Romawi Kuno? Untuk apa waktu dibuat jika hanya untuk meninggalkan. Untuk apa waktu dibuat jika hanya untuk memisahkan. Jangan lupa, Embun! Jangan lupakan bahwa waktu juga yang membuat sebuah pertemuan atau menandai sebuah kelahiran. Waktu menemanimu dalam tawa dan tangis, waktu tetap ada disampingmu dalam gelisah dan harapanmu.

Bukan waktu yang menemaniku! Melainkan aku yang terus berkelana bersama sang waktu. Aku tetap setia melangkah meski sang waktu beranjak pergi meninggalkanku. Tidak mungkin! Kamu akan bernama kematian jika sang waktu telah meninggalkanmu. Karena hanya sang waktu yang menemani manusia hingga akhir hayat. Tidak! Waktu berganti-gantian meninggalkanku berubah menjadi dimensi-dimensi bernama masa lalu dan sekarang. Dan dimensi waktu bernama masa depan yang akan menjemputku dalam merangkai serpihan-serpihan mozaik-mozaikku yang masih berceceran.

Jika engkau hadir untuk membantuku menata serpihan-serpihan mozaik itu, hadirlah dengan ketulusanmu, namun jika engkau hadir bersama sang waktu untuk memberikan serpihan-serpihan mozaik baru padaku, itu juga tak mengapa, mungkin saja esok, lusa atau entah kapan dimensi sang waktu akan mengungkapkan alasannya. Mungkin aku terlalu melankolis atau memoriabel seperti kata-kata yang beberapa waktu lalu terngiang ditelingaku, namun masa lalu memang menjadi media pembelajaran bagi episode kehidupan mendatang. Gde Prama pernah mengungkapkan bahwa tak ada yang salah dengan pengalaman karena mungkin hanya makna yang belum ditemukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan