Legundi



Noktah hitam itu hampir tak terlihat dalam peta negeriku tercinta. Meski tak terlalu jauh jaraknya dari mereka yang mengaku sebagai pengemban peradaban dunia. Atau mungkin aku yang telah buta sekaligus tuli terkubur dalam tembok tinggi, tertimbun buku-buku tebal dan jurnal-jurnal yang serasa makin meracuniku dengan nafsu bertopengkan ilmu. Jarak sepelemparan batu dalam langkah-langkah hidupku, kutemukan teritori itu, hitam, keras dan panas. Sepenggal tanya merasuk dalam kepalaku, apakah ini sebuah episode hidup lain dari antah berantah yang biasa kubaca dalam artikel-artikel dunia maya?

Senja itu datang, bergelayut muram dihadapanku. Bayang-bayang muram tersaji didepan mataku. Petak-petak kecil itu mengaku sebagai pintu penjemput untuk memasuki gerbang hidup kekal. Seperti anak kecil yang berbaris rapi, berderet menunggu pengadilan sejati. Lansekap hitam masuk, berjejalan, merasuk, berebut pijak dalam kornea mataku. Permadani hitam terhampar, sebatang pohon kecil berjuang untuk tumbuh disela batuan karang hitam. Sebuah jejak episode masa lalu, pohon-pohon semakin meranggas berjuang dalam hidup yang tak mudah.

Terdapat sepenggal tanah merah berbongkah retak di tengah hamparan permadani karang hitam itu. Sosok renta terseok mengulurkan timba, menanti tetes-tetes air sewarna cappucinno yang biasa disajikan menemani detak kehangatan kaum hedonis. Novel-novel yang selama ini kubaca, lagu-lagu yang selama ini kudengar, puisi-puisi yang selama ini kurenungkan, telah banyak bercerita tentang kesetiaan, namun sekarang aku belajar kesetiaan pada sosok renta yang terseok melintasi dinginnya malam dan teriknya siang menanti hadirnya seember pekat air keruh. Itu tak cukup! Perlu waktu dua kali duapuluh empat jam untuk sekedar mengendapkan suspensi kasar berwarna kecoklatan itu, sebelum dididihkan hingga menjadi seteguk air yang membasahi kerongkongan. Belajar tentang kesetiaan. Belajar tentang perjuangan. Bahwa hidup tak seramah dalam bayangan.

Sekawanan bebek dari benteng hedonis peradaban itu datang, menyeruak dalam panas dan gersangnya tempat ini. Berceloteh riang tentang ujian, tesis, film baru, kafe baru hingga agenda dugem akhir pekan nanti. Tak jauh dari sosok renta yang terseok dengan timbanya, mereka berbalas pantun, berebut air mineral sekedar untuk menggosok paruh mulus produk perawatan masa kini. Dendang psikosomatis terdengar nyaring ketika menyadari bahwa air yang digunakan untuk mandi ternyata harus berbagi dengan sekumpulan lele yang menari-nari dalam habitatnya. Mengapa sekawanan bebek tidak bisa berbagi hidup sesaat dengan sekumpulan lele. Ironis.

Rangkaian waktu dan nasib yang terus berputar, tak pernah terbebas dari sergapan komentar makhluk Tuhan bernama manusia. Belajar pada hamparan karang hitam,sosok renta dengan timbanya, sekawanan bebek juga sekumpulan lele. Karena hidup mesti terus belajar dari sekeliling kita.


Komentar

SintesaFiles mengatakan…
Menjadi bebek atau lele?
Anonim mengatakan…
Luar Biasa.. Ditunggu karya-karya lainnya.
Salam Kenal,
Iqbal
www.muhammadiqbalelmubarak.blogspot.com

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan