Sketsa Sindoro-Sumbing

Aku berada dihamparan lukisan indah dalam kanvas keabadian sang Pencipta. Kabut tiba-tiba datang diantara percintaanku dengan Sindoro-Sumbing. Menutup wajah yang telah bertopeng. Apakah aku masih mengenalmu? Engkau menyapaku melalui desau angin yang keras memanggil. Kupalingkan wajahku, namun yang kutemui topeng itu lagi. Kuputar bola mataku, dan kucari-cari dirimu. Yang terdengar hanya suara itu, sesaat datang dan menghilang.

Tak lagi kutemui dirimu disana. Topeng itu telah menutupmu. Memisahkanmu dariku. Yang kulihat hanyalah hamparan tembakau yang menjanjikan rupiah dalam panen bulan Agustus nanti. Pak Tani tersenyum puas melihat bakal panen melimpah. Menunggu tengkulak datang dan berhitung keuntungan. Terbayang motor baru impian dalam genggaman. Belum hilang senyum mengembang, menghisap rokok bercampur kemenyan.

Kulihat anak kecil menengadahkan wajah yang memerah. Dihadapannya setumpuk kayu bakar selesai dibelah. Tangannya menggenggam lintingan yang telah dibakar. Asap mengepul dari balik bibir hitamnya. Memuaskan paru-paru dengan knalpot tembakau itu. Tanpa suara, anak kecil itu terus menikmatinya.

Aku tak melihatmu lagi. Kemana engkau pergi? Integritas ternyata bukan pencinta gemericik air atau gesekan pepohonan. Tanah luas pun membentang hingga ujung Sindoro Sumbing. Disulapnya menjadi rupiah. Air sungai mengering dimusim hujan yang baru usai, meninggalkan air mata di pipiku. Kemana engkau telah pergi? Yang tertinggal hanyalah onggokan daging dengan nurani terbuang.

Written by SintesaFiles, 2007.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan