Ketika Kasih Sayang Dipertanyakan

PULANG

Namanya Clara, usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, sepertiga hidupnya telah dihabiskan di kota Madrid ini. Clara mewarisi bakat menari dari darah neneknya, Raden Ayu Sukmowati, penari handal dari Kraton Surakartahadiningrat. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahiran demi rasa cintanya pada budaya yang hampir punah dinegeri sendiri. Sekarang ini Clara merasa sudah saatnya pulang. Tuhan menentukan langkahnya dengan caraNya sendiri.

Pelan ditekannya nomor yang sudah dihafalnya diluar kepala. Meskipun rasanya sudah lama sekali dia tidak menekan nomor ini, sekarang rasanya lain, ada euforia yang bercampur duka. Kerinduannya pada tanah air, bapak-ibu dan seorang adik yang telah lama ditinggalkannya.

“Halo”, sebuah suara terdengar jauh, bergetar pelan dalam hati Clara.

“Halo, Bapak. Ini Clara, saya mau pulang ke Indonesia, Pak” ungkap Clara pada Bapak.

“Wah, benar, Nak? Senangnya mendengar keputusanmu itu, kapan rencanamu Ndhuk?” tanya Bapak.

“Dua minggu lagi, tapi……,” kalimat itu tak diselesaikan oleh Clara.

“Tapi kenapa, Sayang,” lanjut Bapak.

“Boleh nggak saya mengajak teman, orang Indonesia juga kok?” tanya Clara pada Bapak.

“Ya, tentu boleh dong, mau berapa lama temanmu itu tinggal di rumah?” sahut Bapak.

“Ehm, selamanya Pak, kasihan teman saya hidup sebatang kara, kakinya patah akibat kecelakaan tiga bulan yang lalu sehingga harus diamputasi” jawab Clara.

“Aduh kasihan sekali temanmu itu, ya sudah nanti kita cari tempat yang mau menampungnya di Indonesia,” tanggapan Bapak membuat Clara harus menyampaikan argumennya bahwa dia tidak bisa meninggalkan temannya disini.

“Tapi, Bapak, saya mau teman saya itu tinggal bersama kita, selamanya!” lanjut Clara.

“Iya, Clara, tapi orang cacat seperti temanmu itu nantinya hanya akan merepotkan kita saja….” Jawab Bapak.

Klik. Ngiiiiiiing. Ngiiiiiing. Belum selesai Bapak menjawab, Clara telah menutup telponnya.

Lama Clara terdiam. Masing menggenggam gagang telpon ditangannya. Tuhan berkehendak lain.

“Yah, sudahlah! Kalau Bapak tidak mau menerima pendapatnya, berarti Tuhan telah menentukan keputusanNya,” pikir Clara.

Sirine polisi meraung keras memecahkan kesunyian malam kota Madrid. Puluhan orang berkerumun dihalaman sebuah apartemen sederhana, sebuah ambulan dengan petugas paramedis datang membelah kerumunan massa. “Dia sudah meninggal”, kata seorang dokter muda berambut pirang.

Seorang perempuan Asia ditemukan terjun bebas dari lantai 16 sebuah apartemen, lehernya berkalung tali yang diujungnya terdapat dompet berisi paspor. Clara Sukmawati, 27 tahun, warga negara Indonesia. Petugas kedutaan segera datang ke rumah sakit tempat jenazah disemayamkan, setelah segelintir administrasi diselesaikan jenazah pun dikirim terbang ke Indonesia.

RSCM, Jakarta, seminggu kemudian….

Sepasang suami istri datang ke sebuah kamar penyimpanan jenazah di rumah sakit ini. Mereka diminta mengidentifikasi sesosok mayat yang dikirim dari Spanyol beberapa hari yang lalu. Seorang perempuan muda yang mengakhiri hidupnya secara tragis.

“Iya, ini putri saya, Clara, dia pulang terakhir ke Indonesia tiga tahun yang lalu,” ungkap Bapak itu dengan nada sesak didadanya.

Clara telah pulang lebih cepat dari yang dijanjikannya sendiri. Dia pulang sendiri, tanpa teman, hanya sesosok tubuhnya tanpa kaki, terdapat bekas amputasi disana. Bapak hanya terdiam disudut ruangan, aliran air hangat meluncur di pipi keriputnya.

Written by SintesaFiles

Diadaptasi berdasarkan cerita “Prajurit Pulang Perang”, Majalah Paras 2007.

Komentar

chrisery mengatakan…
Mmmmm latar belakangnya agak2 mirip ma cerpenku ya? Madrid, penari, kecelakaan, bunuh diri,,, ambil dari mana nik? Paras ya? yang edisi kapan?

Sekadar kepikiran,, kalo ga punya tangan gimana bisa mengangkat dan menutup telepon ya,,,,, mungkin bisa,,, alam selalu menemukan caranya ya,,, manusia juga bagian dari alam, selalu mencoba survive menuju keseimbangan baru,,,semoga kepentingan keseimbangan milik manusia itu gak detruktif terhadap keseimbangan alam,,, cegah global warming!! ^_^
SintesaFiles mengatakan…
Hahaha.....greats my editor.....thanks koreksinya, iya aku melewatkan itu, sudah kuperbaiki sekarang.
Ide kuambil dari Paras, lupa edisinya ntar kuliat deh, disana tentang prajurit yang mau pulang ke surabaya dari perang di timor-timur.....
Thanks....
Luna mengatakan…
Menarik banget, bahwa ‘ketidakpedulian terhadap sesama yang menderita’ bisa ditransfer dan (secara subjektif) diterjemahkan sebagai ‘tidak menerima orang yang dikasihi (yg kebetulan ada dlm penderitaan)’.
Sebab bagi sebagian orang, kedua hal ini seringkali dengan jelas dipisahkan ranahnya.
Tulisan ini, menjadi pengingat ‘untuk berhati2 dalam membuat pemisahan’.
Dalam situasi ttt, orang memproyeksikan ‘kebutuhan2nya’, kecemasannya, rasa ‘kurang berharganya’, ... dan menjadi ‘begitu’ sensitif.

Btw, sso tanpa tangan n kaki tetap bisa menelepon, sangat ‘mungkin banget’ terjadi lho.
Apalagi hidup di negara yg kebutuhan2 untuk para ‘disable people’ direspon dengan sangat manusiawi.
Bravo Sintesa ...

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan