MENCARI KEBAHAGIAAN

Apakah Engkau Sudah Bahagia?


Selamat pagi, Embun? Apa kabarmu saat ini? Senang atau sedih, penuh harapan atau emptiness? Apakah engkau masih mencari bahagia, Sayang? Bahagia tak mestinya harus dicari, karena bahagia itu ada dalam hati, bagaimana kita menyikapi setiap mozaik hidup kita ini menjadi elemen-elemen kebahagiaan yang dapat membangun energi positif bagi diri kita. Sulit ya?

Ah, ataukah engkau sudah terjangkiti affluenza? Masak kau bilang nggak mengerti apa itu affluenza? Banyak-banyak membaca ya, Embun! Waduh jangan marah dong, aku khan cuma sekedar mengingatkan mumpung engkau masih muda dan sebelum kita menginjakkan kaki di Kye Gompa (wah tak pernah disangka jika kita memiliki mimpi yang sama dengan penulis buku tetralogi favorit kita itu!). Oya kembali lagi ke affluenza ya, itu berasal dari gabungan kata affluence dan influenza, merupakan virus yang menyerang jiwa untuk terus lebih mencapai kesuksesan dan kekayaan, kadang juga diterjemahkan sebagai keinginan selalu memperoleh kondisi finansial, kesuksesan, ketenaran yang lebih. Wajar sih bagi manusia untuk menginginkan hal yang lebih dari apa yang telah diperolehnya saat ini, baik itu kesuksesan karir, finansial dll. Yang menjadi masalah adalah saat hal itu semua dijadikan standarisasi kebahagiaan, trus jika semua itu tidak tercapai maka kebahagiaan itu akan tercerabut. Kasihan deh……, jika begitu maka kebahagiaan itu tak akan pernah hadir karena kepuasan manusia yang tak terbatas akan menjadi barrier kebahagiaan itu sendiri. Trus bagaimana donk?

Aku sih sepakat dengan ide Gede Prama bahwa kebahagiaan itu ada dalam hati kita, tak perlu mencarinya karena toh kebahagiaan itu bisa dilatih. Pelatihan untuk meningkatkan skill kita dalam menyikapi setiap episode kehidupan kita sebagai satu episode kebahagiaan. Mau bahagia atau tidak, itu sebuah pilihan! Tergantung apakah kita memilih untuk bahagia atau tidak.

Hal lain yang menurutku penting adalah ikhlas. Ikhlas lagi, Embun! Hari-hari ini kita sering menggunakan kata-kata ikhlas dalam diskusi-diskusi kita. Menyikapi setiap episode kehidupan dengan ikhlas penuh syukur padaNya akan memudahkan pilihan kita untuk berbahagia. Seharusnya ikhlas saat terpilih memenangi beasiswa diantara ribuan peserta juga ikhlas saat memperoleh nilai-nilai yang bagus, mestinya diimbangi juga dengan keikhlasan saat pengajuan judul tesis yang berulangkali ditolak juga ikhlas saat penolakan artikel-artikel dari harian terkemuka itu memenuhi inbox emailmu. Ketika tak ada keikhlasan terhadap itu semua hanya membuatmu berada dititik nadir kehidupan, perasaan emptiness menyeruak, seakan menjadi manusia paling nelangsa. Itu seperti Dementor, si penyerap kebahagiaan! Jangan biarkan Dementor merajalela.... Pupuklah keikhlasan dalam batinmu, Embun! Agar keikhlasan-keikhlasan itu tumbuh subur dalam ladang persemaian jiwamu. Keikhlasan-keikhlasan yang mampu menguatkan pilihanmu untuk bahagia karena semua itu merupakan proses kematangan dirimu untuk berkarya yang terbaik. Bahwa kamu sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih baik lagi. Tak perlu sedih dan kecewa karena bahagia itu pilihan.

Komentar

Unknown mengatakan…
ha..ha..baru mau kupertanyakan.. dirimu sudah menjawab dengan sendirinya dialinea bawah...

buatlah hidupmu mengalir apa adanya, jangan mau didikte oleh penolakan, kekasaran, ketidakramahan dll yg dihadirkan sekitarmu...

ga gampang, pa lagi dirimu sedang dalam tahap memulai mencari, dan mencari, membuktikan diri pada dunia, bahwa dirimu mang mumpuni... ya ikuti saja, semoga masih selalu ingat pada petuah dirimu...

pssttt.. psssttt.. artikel yg ini terlalu sarat dengan istilah "hitech".. aku kan katrok.. he..he.. hepi sunday morning say
SintesaFiles mengatakan…
Dearest chandra,...
Thanks atensinya. Iya kita khan emang terus dan terus mencari.....
Hepi terus menikmati Solo, teruslah mencoba mencintainya....hahahahaha
Luna mengatakan…
Refleksi yang dalam untuk sebentuk pengalaman ‘sumber kebahagiaan’ ..
Ilmu ‘ikhlas’ emang manjur yee ...
Tiba-tiba teringat karya Sedih dan Gembira (Usmar Ismail, benarkah?)
Manusia, makhluk yang serba bisa itu, termasuk bisa ‘tak merasakan apa-apa’ hingga ‘merasakan beragam rasa sekaligus’...

Dear embun, setuju banget, ‘bahagia’ is a choice, bisa diupayakan, dan dipelajari.
Jadi semua bermula di ‘benda empuk di kepala kita’ yg membuat kita bisa punya ‘perspektif’ dan ‘cara berpikir/merasa’
Makanya ada ‘the science of subjective well-being’.
Bahkan, orang yang umurnya ‘terbatas’, fisiknya ‘terbatas’, kebebasannya ‘terbatas’,uangnya ‘terbatas’, dst tetap bisa sungguh2 bahagia ....

Life is beautifull, film itu sangat menginspirasiku ...
Filosofinya sangat mendalam ttg gimana memandang ‘hidup’ bahkan dalam situasi yang ‘unbearable sorrow’.
Sintesa menggenapinya dengan tulisanmu.

Perjalanan hidup seorang penulis, kian berombak, kian bergelombang, kian ‘insightfull’ untuk dimaknai. Kesempatan makin terbentang untuk terus ‘belajar’ dari universitas kehidupan.

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan