Secangkir Kopi dari Porong

Sesak menyeruak dalam batinku. Kau benamkan diriku dalam tanah gelap. Jengah menunggumu dalam penantian. Tak terhitung berapa detik telah kuhabiskan. Namun engkau tak juga datang. Yang kau berikan hanya ketidakpastian demi ketidakpastian.

Kopi ini terasa semakin pahit. Apa kau pikir, aku, istriku dan anak-anakku bisa berlindung dalam janji-janjimu? Perut kami tak mengenali kata-kata sebagai pemuas nafsunya. Tubuh kami tidak mengenali ketidakpastian sebagai penjaganya. Kami menggigil diterpa angin yang tak peduli dengan penantian. Punggung kami sudah terasa semakin tebal berteman dinginnya lantai pasar Porong.

Pagi hari saat mataku terjaga, semburat panas menerpaku. Dari balik tirai yang terkoyak. Terkenang akan masa lalu, aku ingin menyapu halaman rumahku, aku ingin menyiram tanaman dikebunku, aku ingin mengantar sekolah anakku, dan aku juga ingin bercengkerama dengan tetanggaku. Namun saat aku beranjak, semuanya telah lenyap. Tenggelam dalam lumpur pekat. Aku harus kemana?

Mereka semua penguasa seakan menutup mata. Yang kami butuhkan bukan air mata dengan ucapan turut bela sungkawa. Jangan hanya memandang kami dengan tatapan mata duka. Bukan! Kepada siapa aku harus bicara? Hanya patung lambang proklamasi yang mau mendengarkan keluh kesah kami. Yang lain hanya menebar kata tanpa makna.

Maukah kalian mencicipi kopi pahit yang menjadi santapan kami? Jangan bayangkan Arabica ataupun Robusta, yang kami nikmati juga bukan espresso atau cappucinno. Tapi ribuan cangkir kopi hitam pekat dari bumi Porong yang menenggelamkan kehidupan kami. Yang telah mengambil rumah-rumah kami. Yang telah merampas tanah-tanah kami. Yang telah membuyarkan impian indah anak-anak kami. Yang telah mematikan asap dapur kami.

Mengapa kau berlindung dibalik bangunan megah itu? Mengapa kau bergegas melupakanku? Apakah kau tak dapat mendengar teriakan kami saat kau melintas dengan mobil mewahmu yang wangi? Apakah kau dapat menutup mata saat melihat kami dari siaran televisi? Apakah rumahmu sehangat peristirahatan terakhir kami?

Harapanku ada dalam nuranimu.

SintesaFiles, 2007.

Komentar

Luna mengatakan…
Tema tulisan seorang penulis ... salah satunya menunjukkan minat dan kepeduliannya.
Sudut yang dipilih dalam membidik cerita menjadi tanda cara/strategi yang diadopsi sebagai pisau asahnya ...

Sintesa, teruslah berkarya ...
Selalu ada penggemar setia, merunut kegelisahan sikap ,keliaran berpikir, eksplorasi nilai, dan keinginan menguak ‘cakrawala baru’.

Kemampuan berempati ........... menjadi dasar yang amat fundamental dalam memilih dan mengulas tema tertentu. Menjadi dasar pula dalam memilih ‘angel’.

Terima kasih buat ‘kepedulian dan empati’mu

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan