Catatan Secangkir Kopi

Risk Taking Behavior


Pernikahan ibarat pertaruhan

Bagi lelaki, dia mempertaruhkan kebebasannya

Bagi perempuan, dia mempertaruhkan kebahagiaannya


Bagaimana, apakah anda setuju dengan pernyataan diatas? Saya tidak memaksa anda untuk setuju terhadap ungkapan diatas, karena jika saya memaksa berarti saya telah merebut kebebasan anda. Setiap manusia memiliki hak hidup yang didalamnya termuat kebebasan. Kebebasan berkreasi, kebebasan mencintai, kebebasan memilih, kebebasan memilih diam atau bicara, kebebasan menulis atau bermimpi dan lain sebagainya. Berbicara mengenai kebebasan, Sumanto pun berhak untuk menghirup udara bebas meskipun masyarakat didesanya menolak kehadirannya karena masih trauma terhadap manusia kanibal tersebut. Meski sama-sama baru keluar dari penjara dan menghirup udara bebas namun demikian berbeda antara Sumanto dan Tomy Suharto.

Yups, kembali ke topik pembicaraan diatas mengenai pernikahan. Pernikahan merupakan risk taking behavior. Istilah risk taking behavior muncul karena pernikahan merupakan ikatan dua individu secara yuridis formal maupun informal. Meskipun sebelum pernikahan seseorang sudah melalui masa pacaran yang panjang namun belum berarti mereka benar-benar saling mengenal. Ada juga yang menikah tanpa melalui pacaran, tapi melalui mekanisme perkenalan lainnya (tidak cinta tapi menikah?).

Sepanjang kehidupan manusia selalu belajar, sehingga kehidupan merupakan proses perubahan. Manusia selalu memiliki topeng-topeng kehidupan. Pernikahan merupakan salah satu pintu pembuka topeng-topeng kehidupan individu, karena individu harus selalu belajar untuk benar-benar saling mengenal, memberi dan menerima. Meski tidak 100% benar-benar mengerti bagaimana pasangan jiwanya, namun setidaknya bisa lebih tahu, “Oh ternyata kamu begitu tho Mas/Dhik.....”.

Masa pengenalan sebelum pernikahan hanya memiliki sedikit kontribusi mengenai bagaimana sebenarnya seseorang itu. Nah, aslinya bagaimana baru terlihat setelah pernikahan, nah itulah yang dinamakan risk taking. Resiko jika ternyata pasangan yang telah kita pilih ternyata bukan seperti harapan. Semuanya menjadi implikasi dari sebuah keputusan besar yaitu pernikahan, karena pernikahan tidak hanya untuk saat ini atau sepuluh atau duapuluh tahun kedepan namun juga sebuah master plan jangka panjang antara dua individu, dua keluarga, dua komunitas dengan dunianya masing-masing serta Insya Allah jika diberi kepercayaan memperoleh keturunan.

Bagaimana meminimalkan resiko? Sebuah pertanyaan sulit. Apakah kamu mencintai seseorang? Jika jawabannya adalah “Ya”, pertanyaan selanjutnya adalah, “Bagaimana menunjukkan bahwa benar-benar mencintainya?”. Jika ingin selalu bersamanya, jika ingin selalu diperhatikan, jika ingin selalu memperoleh kasih sayangnya, itu bukan mencintai. Jika kita mengakui bahwa kita mencintai seseorang maka kita harus mempersiapkan diri untuk sakit. Salah jika kita siap untuk berbahagia. Bukan masalah apakah kita diterima atau ditolak seseorang yang kita cintai atau apakah kita bisa bersamanya atau tidak. Karena mencintai adalah memberi dengan menyingkirkan semua egoisitas kita. Tanpa ada berharap menerima sesuatu yang indah, karena fokus kita adalah memberi. Dengan ketulusan cinta yang kita miliki, kita ingin memberikan semua yang terbaik bagi seseorang yang kita cintai. Gambaran sederhana, bagaimana ketulusan cinta seorang ibu? Beliau dengan ikhlas memberikan semua yang terbaik bagi putra-putrinya tanpa mengharapkan imbalan apapun, sekedar melihat putra-putrinya tersenyum dalam keadaan sehat sudah merupakan anugerah yang tak ternilai.

Sebuah pernikahan merupakan keputusan besar yang penuh resiko, ibarat seperti memasuki medan arung jeram dengan grade tersulit yang belum pernah dilalui. Apa yang dihadapi didepan tidak ada yang tahu bagaimana bentuk, alur, kesulitan dan masalah yang mungkin timbul. Dalam setiap pilihan hidup, resiko tidak bisa dihilangkan namun bagaimana resiko dapat ditekan seminimal mungkin. Pasangan yang dapat dipercaya, pasangan yang dapat memenuhi beberapa kriteria yaitu: good man/woman; good husband/wife; good father/mother; good friend and partner.

* Good man/woman
Menemukan orang baik saat ini bukan merupakan hal yang mudah. Seringkali banyak orang yang kelihatannya baik, gentle n care, namun belum berarti bahwa mereka pasti termasuk golongan good. Bukan bermaksud memiliki prasangka buruk, namun menemukan orang yang berbuat baik secara ikhlas tanpa motif lain yang terselubung merupakan hal yang tidak mudah. Ada yang bilang bahwa mata seseorang tidak dapat berbohong (thanks to pak Dodo), selain itu kadang kita mesti berterimakasih pada intuisi, hati kecil saya mengatakan bahwa bla....bla.....bla.....(thanks to James Redfield). Terlepas dari semua religi yang ada dimuka bumi ini, good man/woman memegang prinsip universal humanism. Berbuat baik tidak hanya untuk kaum se-golongan, se-ras dan se-iman, namun berbuat baik bagi semua umat manusia dan lingkungan sekitarnya.

* Good husband/wife
Good husband/wife
sebuah critical point dari risk taking behavior. Bagaimana tidak, hal ini sangat sulit untuk dideteksi. Mungkin suatu saat perlu dibuat good husband/wife detector yang dibuat kolaborasi ilmuwan elektro, kimia, biologi dan psikologi hehe..... :-).... Be a good husband/wife sebenarnya merupakan konsekuensi dari sebuah pernikahan, ketika janji telah terucap dan komitmen telah dipegang. Masalahnya bukan siapa menyakiti siapa, tetapi pengingkaran terhadap komitmen yang telah disepakati. Tingkat perceraian di Indonesia termasuk dalam kategori “mencemaskan”, ketika pasangan seringkali mengucapkan, “Kami merasa sudah tidak ada kecocokan lagi”. Mungkin dalam tataran mereka, mencintai adalah apa yang bisa kudapatkan dari pasanganku, jika aku tidak memperoleh apa yang kucari, yah berarti sudah tidak ada kecocokan diantara kami. Ups, its very dangerous........., karena mencintai adalah memberi, dimana kita belajar memberikan yang terbaik bagi pasangan kita.

* Good daddy/mommy
Pasangan kita bukan hanya untuk kita, tapi sebagai bapak atau ibu dari anak-anak kita. Bagaimana bisa menjadi teladan kebaikan bagi mereka, bagaimana kita terus bisa belajar dari anak-anak kita untuk menjadi lebih baik. Bukan menjadi orang tua yang ditakuti, namun bagaimana menjadi sahabat terbaik anak-anak kita tanpa ada ketakutan untuk menceritakan apa yang mereka rasakan, kesedihan, kegembiraan, ketakutan dan kesakitan mereka. Good daddy/mommy berusaha selalu memberikan yang terbaik bagi anak-anak.

* Good friend and partner
Pasangan bagi kita, tidak hanya berperan sebagai seorang suami atau ayah dari anak-anak kita melainkan sebagai teman baik dalam melangkah dan partner yang nyaman dalam berbicara, diskusi, sharing de el el. Seorang teman baik selalu memiliki tempat tersendiri dalam hati, mampu menjadi penyejuk di kala sedih dan mampu menjadi partner di kala tertawa. Good friend and partner dapat memberi sinergi dalam menjalin hubungan sebagai pasangan jiwa.

Apakah kita sudah menemukan seseorang yang memenuhi kriteria tersebut? Tidak ada manusia yang sempurna, tapi bagaimana manusia biasa mencoba untuk terus berproses menjadi lebih baik. Belajar mencintai ketidaksempurnaan dengan cara yang sempurna. Mencintai seseorang merupakan suatu hal berdasarkan perasaan emosional sedangkan sebuah pernikahan lebih berdasarkan rasionalitas dan logika. Risk taking behavior? Of course.

Jogjakarta, 21 Desember 2006 (Sintesa-files)

Komentar

Unknown mengatakan…
kata para nenek reformis, perkawinan, pernikahan adalah sebuah legalitas seksualitas, melembagakan kekuasaan pria atas perempuan, tidak memberikan kesetaraan perempuan dalam hidupnya...dan semua diberi label ketat deengan agama, budaya, kodrat dlll..kodrat adalah milik kepunyaan yg kuasa, ketika prempuan musti hamil dan melahirkan, sementara pria tidak bisa melakukan hal itu, itulah yg disebut kodrat yg sesungguhnya, bukan yang lain.....sayang seribu sayang, perempuanpun mengamini penyalahgunaan kata kodrat...dan jadilah para penganut pandangan diatas sebagai manusia yg melawan kodrat, aneh...dlll...
Luna mengatakan…
risk taking behaviour ..

berarti,
bukan hanya laki-laki yang mempertaruhkan 'kebebasannya'?

dan bukan hanya perempuan yang mempertaruhkan 'kebahagiaannya'?

perspektif lain:
'pernikahan' adalah pelembagaan 'persahabatan, ketulusan, kepedulian dan kasih, hingga dihidupilah seksualitas, penghargaan & penghormatan satu sama lain'
buat keduanya, laki-laki dan perempuan.

yang dalam konteks kultur (dan religi) dilengkapi dg pemaknaan lain.

(btw, dalam perspektif kontemporer, catatan kritisnya, apa harus laki2 & perempuan? he3x ... ini untuk konteks penghargaan lintas-kultur, sama dg diskusi 'apa bentuk kodrat' itu)
Putut Suharso mengatakan…
Pernikahan.... Keluarga..

Apa yang kupertaruhan?
Ga tau ini apa hanya sekedar teori, karena aku belum mnikah.

SURGA atau NERAKA.
itu pilihannya.. pasangan dan keluarga mau diajak kemana? Bagaimana menjalani? seperti jalan ke surga ato neraka.

itu Kehidupan yang KEKAL.

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan