Episode Jogjakarta

Apakah Jogja Sudah Berubah?

Aku menyusuri kembali jalan-jalan kota ini setelah sepuluh tahun berlalu semuanya telah berubah. Jajaran coffee shop yang bersaing memberikan kemanjaan fasilitas untuk menggaet konsumen-konsumen anak muda. Aku tidak menyangka jika perjalanan hidupku membawaku kembali ke kota ini. Lima tahun yang lalu aku meninggalkan kota ini dengan semua harapan-harapan dalam genggamanku. Kujejakkan kaki dan kuhirup udara Jakarta dengan gelegak semangat mudaku. Berbagai tawaran pekerjaan kuterima dari puluhan surat lamaran yang kuajukan. Beberapa tahun kulalui hingga aku memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi lagi meski konsekuensinya aku harus melepaskan pekerjaanku. Setiap langkah adalah pilihan, setiap pilihan memiliki resiko, dan aku memilih resiko itu. Sehingga aku kembali berdiri dikota ini dengan status yang sama dengan sepuluh tahun lalu saat aku pertama kali disini, mahasiswa.

Sejenak aku terjebak dalam romantisme masa lalu, demonstrasi membangun reformasi dengan berjalan kaki sepuluh kilometer, harum sengatan gas air mata hingga ingatanku pada teman, sahabat lama dan semua yang telah mengisi hari-hariku. Apakah kota ini masih memiliki identitas masa lalu atau sudah terkikis menuju peradaban baru, yang kata orang semakin “maju dan modern”?

Sepanjang jalan ini masih menawarkan tenda-tenda yang menawarkan berbagai jajanan, begitu pula angkringan juga tetap ada dengan tampilan yang sedikit berbeda. Jika dulu melihat angkringan dengan tiga “ketel” berisi tiga jenis minuman panas lengkap dengan bungkusan nasi mungil berhiaskan sambal trasi, disebelahnya terdapat berbagai macam lauk pauk sebagai sahabat setia sang nasi, namun sekarang apa yang berbeda? Lihatlah penikmat angkringannya, jika dulu mereka duduk-duduk sambil diskusi tema demo minggu depan, kuliah tadi siang, keputusan pemerintah yang baru dikeluarkan atau mata kuliah yang harus (terpaksa) mengulang, sekarang mereka duduk-duduk sambil menikmati TV kabel yan disediakan pengelola angkringan atau menghadapi laptop dan berselancar ke dunia maya. Makannya boleh tetap nasi kucing namun fasilitasnya, wow jangan salah! Teknologi yang berkembang sedemikian pesat membuat semuanya harus bergegas mengikuti, jika tidak ingin memiliki julukan si gagap teknologi.

Berjalan-jalan di kampus tercinta juga akan mencium aroma berbeda, mahasiswa yang wangi bukan lagi sekedar mengenakan T-Shirt butut yang sudah dipakai tiga hari. Apakah generasi sekarang sudah semakin rajin mencuci? Bukan! Lihatlah tangan halus mereka yang tak pernah bersentuhan dengan berbagai deterjen pencuci. Tapi lihatlah disela-sela gang hingga pinggiran jalan besar, bertebaran usaha laundry yang mengklaim sebagai laundry-nya anak kost. Usaha laundry itu juga menawarkan berbagai fasilitas seperti member, langganan, maupaun delivery order. Banyaknya usaha laundry membuat persaingan dalam menawarkan harga dan fasilitas. Anak kost takperlu lagi merendam jeans dua hari agar bersih dan wangi (atau malah tambah bau karena aroma rendaman terlalu lama) tapi tinggal sms dan tunggu saja 10 menit lagi, petugas laundry datang mengambil cucian, keesokan harinya setumpuk pakaian bersih dan wangi sudah kembali diantarkan. Wow, istilah “nasib anak kost” sepertinya tinggal sepenggal nostalgia kisah lama.

Tanpa meninggalkan identitasnya, Jogjakarta kini semakin bergaya. Tertarik menikmatinya? Datang saja ke Jogja. (Sintesa-Files, Juli 2007)

Komentar

Luna mengatakan…
sekian lama meninggalkan yogya,

banyak yang berubah,
tp, banyak yang bertahan.

gimana dengan kita?
idem dg Yogya?

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu

Cerita Tentang Paku dan Kayu

Terimakasih Ramadhan